Sebuah kampanye bersih dari sponsor saat Idul Fitri 2011. |
Juga
belajar tentang bersih dari para cleaning service terhadap apa itu kebersihan
lingkungan belajar yang ada di sekolah, dimana diantara mereka sesungguhnya
baru memiliki tingkat kesejahteraan
berada pada standar kesejahteraan daerah dimana mereka bekerja. Belajar
dari orangtua siswa, yang meski sekolah sudah terlihat bersih tetapi kadang
masih ada yang menyampaikan kekurangan. Dan belakangan ini untuk hal bersih
saya juga belajar dari ketua Yayasan pada saat beliau meninjau serta
berkeliling ke lokasi yang ada di sekolah sekaligus memberikan nilai.
Pendek
kata, jika dikomparasi citarasa bersih saya kali pertama datang ke Jakarta
dengan apa yang saya miliki sekarang ini, mungkin hanya pas diperbandingkan
antara bumi dengan langit. Dan untuk itu saya bersyukur.
Dan
citarasa itu, pada ujunganya juga menjadi bagian dari kehidupan saya di rumah.
Atau paling tidak ketika saya mendapat amanah untuk membantu di sebuah lembaga
lain, citarasa itu dapat menjadi sumber inspirasi bagi teman-teman yang berada
di lembaga tersebut.
Mengapa
saya terlambat belajar bersih padahal ketika di kampung halamanpun sudah
mendapat doktrin bahwa bersih dan kebersihan itu merupakan bagian dari pada
iman? Menurut saya, ini tidak lain karena ketika di kampung belajar bersih
sebagai bagian dari iman, masih dalam bentuk konsep mengingat dan belum menjadi
bentuk budaya. Konsep mengingat tersebut belum memiliki cantolan yang berkenaan
dengan ukuran bersih itu sendiri. Misalnya, bersih yang seperti apa? Tidak ada
bayangan bersih yang seperti apa? Tapi yakin bahwa bersih itu merupakan bagian
dari iman.
Maka,
bila kita meyakini taksononi bloom dalam hasil belajar, posisi mengingat
tersebut baru dalam tahapan awal dalam hasil belajar. Sedang untuk sampai
sesuatu seperti kebersihan itu menjadi budaya, seharusnya mengingat itu harus
menjadi aplikasi perilaku yang sudah berubah dalam perilaku kebiasaan. Dan
ketika mengingat menjadi perilaku, maka kepahaman akan bersih, sudah dalam
bentuk pengertian yang tergambar kualifikasinya.
Itulah
maka ketika konsep bersih itu sudah saya ketahui, tetapi karena baru pada
tataran konsep, maka perilaku saya kadang atau sering tidak sinergi dengan apa
yang terjadi di lapangan kehidupan sehari-hari. Untuk itulah saya mengalami
proses belajar yang relatif panjang, meski itu
hanya belajar tentang bersih.
Misalnya
ketika bersama teman-teman yang dari udik saya masuk menjadi bagian di sebuah
sekolah dengan standar bersih yang baik. Maka di tempat inilah saya kemudian
naik kelas dalam pemahaman tentang
bersih. Lucunya lembaga saya belajar paham bersih itu justru bukan lembaga yang
berbasis agama.
Tetapi
itulah kenyataannya. Dan ketika saya harus melakukan ritual di lokasi yang
semestinya bersih menjadi bagian dalam aplikasi agama, saya terhenyak oleh
realita toilet atau tempat wudhu yang kotor atau bahkan jorok. Kondisi yang
sungguh memprehatinkan sekaligus jungkir balik.
Haruskah
proses belajar bersih yang saya lakukan dapat menjadi inspirasi para pemangku
kewenangan di tempat-tempat seperti itu? Allahua'lam bishawab.
Jakarta-Buntu,
05-06 April 2012
No comments:
Post a Comment