Ini kalimat dengan cita rasa tidak baik. Ada getaran nada sinis dan sekaligus cibiran. Bukan kalimat pertanyaan. Tetapi justru kalimat yang mempertanyakan atas apa yang telah menjadi keputusan. Dan inilah cerita saya.
***
Cerita ini saya dapatkan dari seorang teman yang tengah berpikir keras
untuk menajak seluruh teman yang ada di lembaganya menuju jalan keluar untuk menjadi guru yang
inspiratif. Dan bukan guru yang biasa-biasa saja. Namun kehadirannya di lembaga itu bukan di awal tetapi juga belum di akhir. Tetapi ada di tengah-tengah. Tentu bukan pekerjaan yang mudah dan ringan untuk diembanya. Tetapi juga bukan pekerjaan yang mustahil untuk diwujudkan. Saya melihatnya sebagai tantangan yang harus dihadapi dengan penuh komitmen dan dedikasi.
Curahan waktu, tenaga, dan ikhtiar, serta berpikir kerasnya itu, nampak sekali terlihat pada rambutnya
yang lebih cepat menjadi putih. Karena empat tahun yang lalu, kala ia masuk dalam
jajaran lembaga yang dipimpinnya itu, rambut putihnya tidak selebat saat ini. Jadi, dari rambut rambutnya, ada perkembangan yang signifikan pada dirinya.
Dan cerita yang disampaikannya adalah cerita tentang iri dan dengki yang ada dan lahir pada diri bawahannya. Atau mungkin agar lebih ringan gradasi kekeliruannya, kata iri dan dengki itu saya ganti dengan cemburu. Persisnya cemburu ketika ada pengangkatan untuk sebuah jabatan struktural, orang yang terjangkit cemburu itu bukan orang yang diangkat. Kok dia yang terpilih Sebagai guru koordinator? Begitulah kalimat yang keluar dari di pencemburu itu ketika berbicara dengan teman sejawatnya.
Bisa jadi kalimat itu masih diikuti beberapa kalimat lain yang lebih membakar. Misalnya saja; Mengapa dia yang diangkat? Apa yang menjadi prestasinya? Dan seterusnya-seterusnya. Kalimat-kalimat dengan aura negatif itu asli menjadi milik orang-orang yang berpikir negatif. Dan menjadi lebih repot ketika orang tersebut tercemari pula virus sombong. Karena sombong akan melahirkan perasaan lebih dibandingkan dengan orang lain. Apakah lebih pandai, lebih berprestasi, lebih piawai, atau lebih cocok untuk menempati posisi yang sekarang menjadi milik orang. Jadi, menjadi lebih membakar dan lebih membara bukan sakit hati yang akan dideritanya itu?
Dan lebih runyam lagi jikalau orang pencemburu itu ternyata memang tidak lebih baik atau lebih kompeten jika melihatnya dari kacamata teman-teman di kantornya, yang kebetulan diajaknya untuk menyampaikan uneg-uneg cemburunya. Belum lagi jika kenyataan itu di lihat dari kacamata lembaga.
Itulah yang terjadi. Oleh karenanya, lebih baik ketika kita bertemu dengan teman kita yang mempertanyakan suatu kebijakan, misalnya saja kebijakan tentang pengangkatan atau dipilihnya seorang teman untuk menduduki sebuah jabatan, dan mengungkapkan kekecewaannya dengan kalimat; kok dia yang dipilih menduduki jabatan itu? Maka ajaklah orang itu untuk mengubah kalimat mempertanyakan tersebut menjadi kalimat tanya untuk diri sendiri. Misalnya kalimat tanya: Mengapa bukan saya yang terpilih? Apa yang membedakan saya dengan dia sehingga dialah yang menduduki jabatan itu?
Jakarta, 02-05 April 2012.
Dan cerita yang disampaikannya adalah cerita tentang iri dan dengki yang ada dan lahir pada diri bawahannya. Atau mungkin agar lebih ringan gradasi kekeliruannya, kata iri dan dengki itu saya ganti dengan cemburu. Persisnya cemburu ketika ada pengangkatan untuk sebuah jabatan struktural, orang yang terjangkit cemburu itu bukan orang yang diangkat. Kok dia yang terpilih Sebagai guru koordinator? Begitulah kalimat yang keluar dari di pencemburu itu ketika berbicara dengan teman sejawatnya.
Bisa jadi kalimat itu masih diikuti beberapa kalimat lain yang lebih membakar. Misalnya saja; Mengapa dia yang diangkat? Apa yang menjadi prestasinya? Dan seterusnya-seterusnya. Kalimat-kalimat dengan aura negatif itu asli menjadi milik orang-orang yang berpikir negatif. Dan menjadi lebih repot ketika orang tersebut tercemari pula virus sombong. Karena sombong akan melahirkan perasaan lebih dibandingkan dengan orang lain. Apakah lebih pandai, lebih berprestasi, lebih piawai, atau lebih cocok untuk menempati posisi yang sekarang menjadi milik orang. Jadi, menjadi lebih membakar dan lebih membara bukan sakit hati yang akan dideritanya itu?
Dan lebih runyam lagi jikalau orang pencemburu itu ternyata memang tidak lebih baik atau lebih kompeten jika melihatnya dari kacamata teman-teman di kantornya, yang kebetulan diajaknya untuk menyampaikan uneg-uneg cemburunya. Belum lagi jika kenyataan itu di lihat dari kacamata lembaga.
Itulah yang terjadi. Oleh karenanya, lebih baik ketika kita bertemu dengan teman kita yang mempertanyakan suatu kebijakan, misalnya saja kebijakan tentang pengangkatan atau dipilihnya seorang teman untuk menduduki sebuah jabatan, dan mengungkapkan kekecewaannya dengan kalimat; kok dia yang dipilih menduduki jabatan itu? Maka ajaklah orang itu untuk mengubah kalimat mempertanyakan tersebut menjadi kalimat tanya untuk diri sendiri. Misalnya kalimat tanya: Mengapa bukan saya yang terpilih? Apa yang membedakan saya dengan dia sehingga dialah yang menduduki jabatan itu?
Jakarta, 02-05 April 2012.
No comments:
Post a Comment