Seperti orangtua, seperti itulah anak-anak mereka. Begitu kata pepatah. Dalam realitas sehari-hari di sekolah, saya banyak melihat dari beberapa pola hidup anak yang setelah bertemu dengan para orangtuanya, menemukan indikasi kemiripan. Untuk itulah saya punya sedikit pembenaran dengan bersandarkan kepada peribahasa tersebut di atas, atau kepada judul tulisan ini.
Nah untuk kali ini yang saya akan sampaikan adalah kebiasaan anak untuk terlambat masuk sekolah. Kebiasaan karena nyaris setiap hari anak itu terlambat masuk sekolah. Meski untuk keterlambatan yang kelima, orangtua harus mengantar anak hingga sampai bertemu degan guru piket, tetapi tetap hari pertama pada pekan berikutnya, anak akan memulai jadwal terlambat datang ke seklahnya. Begitulah anak itu.
***
Nah untuk kali ini yang saya akan sampaikan adalah kebiasaan anak untuk terlambat masuk sekolah. Kebiasaan karena nyaris setiap hari anak itu terlambat masuk sekolah. Meski untuk keterlambatan yang kelima, orangtua harus mengantar anak hingga sampai bertemu degan guru piket, tetapi tetap hari pertama pada pekan berikutnya, anak akan memulai jadwal terlambat datang ke seklahnya. Begitulah anak itu.
Tapi yang menarik bagi saya atas apa yang disampakan gurunya kepada saya adalah bahwa sang Ibu pun selalu saja ada alasan untuk disampaikan kepada guru piket tentang mengapa anak-anaknya terlambat. Jika hari ini disebabkan oleh karena adik paling kecil yang mendadak panas badannya, esok hari karena baju seragam yang ada di rumahnya yang satu lagi sehingga harus mengambilnya dahulu, lain waktu karena menunggu supir yang terlambat datangnya, dan seterusnya. Pendek kata selalu ada yang kurang dalam setiap waktu akan ke sekolah.
Pernah suatu kali guru di sekolah berpikir, apakah kalau setiap hari akan pergi ke sekolah maka sebagai orangtua tidak mempersiapkan diri, misanya dengan apa saja keperluan yang akan atau harus anak bawa esok hari dengan terlebih dahulu melihat jadwal atau pengumuman yang ada di buku komunkasi buah hatinya? Atau mungkin untuk melatih kemandirian anaknya maka orangtua mengingatkan sang anak untuk bersiap atau mempersiapkan segala hal yang berkenaan dengan perlengkapan sekolah esok harinya? Sehingga ketika pagi hari, dimana hanya memiliki waktu yang tidak panjang sejak anak bangun hingga masuk kendaraan menuju sekolah, situasi di rumah menjadi lebih siap dan tidak mudah untuk diantisipasi jika terjadi suatu hal di pagi hari? Mengapa guru terpikir seperti itu? Karena terlambat masuk sekolah sudah menjadi rutinitas. Dan bkakah jadwal masuk sekolah pagi hari selalu sama jamnya? Dan juga bukankah jarak tempuh antara rumah kita masing-masing menuju sekolah dengan kendaraan plus kemacetannya telah terhitung dalam benak kita sebagai pelakunya? Jadi mengapa terlambat sekolah tidak menjadi tekad yang sungguh-sungguh untuk dipecahkan? Atau mungkin kita membutuhkan sangsi atau konsekuensi yang lebih tegas dari sekolah untuk masalah keterlambatan tersebut?
Atas seluruh argumentasi itu semua, maka pihak guru mencari tahu sumber masalah yang harus diurai dari masalah tersebut. Dengan mengundang anak, orangtua yang terdiri ayah dan ibu, untuk beraudiensi, berdiskusi. Dan dari hasil dialog tersebut, maka disimpulkan bahwa masalah tidak akan cepat untuk ditemukan solusinya. Mengapa? Karena pola yang ada, yang menjadi teladan di rumah, belum memungkinkan untuk terjadinya perubahan. Maka tidak salah bukan bila saya menjadi teringat peribahasa buah jatuh tidak akan jauh dari pohonnya? Sementara teman yang lain mengingatkan saya agar hati-hati menbuat kesimpulan. Jangan terburu-buru. Siapa tahu esok mereka menjadi insyaf? Amin. Semoga. Karena saya juga yakin bahwa naluri kita adalah yang baik-baik saja.
***
Atas seluruh argumentasi itu semua, maka pihak guru mencari tahu sumber masalah yang harus diurai dari masalah tersebut. Dengan mengundang anak, orangtua yang terdiri ayah dan ibu, untuk beraudiensi, berdiskusi. Dan dari hasil dialog tersebut, maka disimpulkan bahwa masalah tidak akan cepat untuk ditemukan solusinya. Mengapa? Karena pola yang ada, yang menjadi teladan di rumah, belum memungkinkan untuk terjadinya perubahan. Maka tidak salah bukan bila saya menjadi teringat peribahasa buah jatuh tidak akan jauh dari pohonnya? Sementara teman yang lain mengingatkan saya agar hati-hati menbuat kesimpulan. Jangan terburu-buru. Siapa tahu esok mereka menjadi insyaf? Amin. Semoga. Karena saya juga yakin bahwa naluri kita adalah yang baik-baik saja.
Jakarta, 09 April 2012.
No comments:
Post a Comment