Bertemu di Toyan, Kokap saat
bus Prayogo yang saya tumpangi penuh sesak. Nenek itu naik bersama rombongan
yang lebih kurang berjumlah delapan orang yang sebelumnya adalah penumpang dari
bus BUMN yang berangkat dari Bogor dengan tujuan akhir perjalanan adalah Yogyakarta.
Jam di tangan saya menunjulkan pukul 16.15 saat nenek itu naik bus saya setelah di oper.
Sementara pertigaan Toyan, lokasi dimana operan penumpang antar bus tersebut itu,
sedang disiram gerimis.
Nenek itu naik ke bus yang
saya tumpangi dengan menggendong seorang anak balita, dengan kain batiknya.
Ditangannya masih ada tas tangan Ibu-Ibu warna hitam. Anak balita yang
digendongnya bermata cerdas dengan topi woll yang menutupi kepalanya. Anak itu perempuan dengan anting yang menyembul keluar dari topinya. Saat
bicara, anak itu tampak benar-benar smart. Saya dan anak yang baru mendapat duduk
di sekitar Temon, memepersilahkan nenek itu duduk menmpati tempat duduk anak
saya.
- Maturnuwun nggih Mas. Nenek itu menyambut kesempatan yang kami berikan.
- Kulo niki saking Bogor wingi dalu jam wolu. Kok yah menten nembe dugi mriki... Keluhnya bercerita tentang perjalannannya. Perjalanan yang tidak mudah dan tidak ringan untuk seorang nenek yang lebih kurang telah berusia 60 tahunan bersama cucunya.Alhamdulillah putu kola niki mboten rewel babar blas. Alhamdulillah mas. Niki sampun nderek kulo Wiwit alit. Bapak kalian ibunipun wonten Bogor pados damelan. Saya diam tidak memberikan komentar apapun. Saya hanya membayangkan apakah para peminpin kita punya pengalaman atau empati terhadap apa yang dialami oleh nenek itu.
Dikatakannya bahwa kendaraan
yang ditupanginya terjebak macet panjang di tanjakan Ciregol, Tonjong,
Kabupaten Brebes. Antrian itu butuh waktu lima jam untuk dapat melaluinya. Maka
tidak keliru jika nenek itu bersama rombongan saya temui di pertigaan lampu
lalu lintas Toyan.
***
Masalah antrian dan
kemacetan yang dialami oleh nenek itu sesungguhnya juga saya alami. Hanya
mungkin saya lebih beruntung karena bus malam saya tiba di Ciregol lebih
dahulu. Sehingga antrian saya ada di depan kendaraan yang ditumpangi nenek itu.
Dan pasti bukan menjadi milik nenek dan saya saja, mengingat hari itu adalah
hari pertama untuk libur panjang akhir pekan.
Namun bagi saya pada saat
pertemuan itu lebih trenyuh pada kondisi nenek bersama cucunya. Dimana orangtua
sicucu harus meninggalkan anaknya untuk bekerja di luar kota. Mengapa orangtua
itu harus meninggalkan anaknya dan tidak membawa serta? Dugaan saya karena
dalam hitungan Ibu-Ayah tersebut pendapatan mereka akan kurang bilamana salah
satu dari mereka harus tinggal bersama anaknya atau juga bila mereka berdua
bekerja dengan seorang pembantu yang harus merawat anaknya.
Dengan kondisi demikian,
maka pilihan bahwa nenek itu harus bersama Cuçu yang tinggal di tempat yang
jauh dari kedua orangtua si Cuçu tersebut merupakan pilihan yang paling
mungkin. Benarkah? Allahua'lam.
Yang jelas, bahwa nenek itu
tetap belum selesai dan pensiun dari merawat balita. Meski usianya sudah lewat dari usia tua. Tapi itulah realitas hidup yang ada di sekitar kita. Lalu bagaimana nenek atau Ibu dari
kita masing-masing. Jugakah mereka sedang menggendong cucunya yang adalah anak-anak kita? Lalu adakah hak pensiun bagi mereka dari tugas terhadap generasi para cucunya?
Gamping, 06/04/2012.
No comments:
Post a Comment