Tentang mengerti, pada catatan ini saya sedikit mengutip apa yang saya dapat tentang mengerti sebagaimana konsepsinya Stephen R Covey, almarhum dengan 8 habitnya itu. Dimana dalam konsepsinya, mengerti dikonfrontasikan dengan dimengerti. Adalah dua konsep komunikasi yang saling menghasilkan implikasi.
Dalam konsepsi komunikasi itu, secara lebih sederhana sebagaimana yang saya pahami, mengerti adalah syarat awal, atau modal pertama dalam menjalin keberhasilan berkomunikasi seseorang terhadap orang lain, sebagai upaya agar dan untuk menjadi dimengerti. Jadi, dalam hukum komunikasi Covey, bukan meminta orang lain untuk mengerti diri kita terlebih dahulu, yang menjadi awal dalam keberhasilan sebuah hubungan sosial. Namun justru sebaliknya, jikalau kita mampu mengerti, memahami orang lain, maka terbukalah pintu bagi kita bahwa kita akan dimengerti oleh orang lain.
Sejajar dengan pengertian mengerti di atas, maka dalam catatan ini, mengerti saya maknai sebagai ikhtiar saya dalam memberikan bobot kepada apa yang saya sedang dapat dan rasakan sekarang ini berbanding dengan bagaimana dan seperti apa yang sedang dirasa dan dilakoni oleh orang lain atau pihak lain. Tentunya dalam khasanah atau ranah yang pararel. Jadi beda bahasa pengungkapan, namun tetap satu rasa.
Makna ini saya temukan baru saja ketika saya bertemu dan berbincang dengan teman-teman yang bergerak dalam profesi yang persis sama. Dimana teman marasakan bagaimana ia merasakan sebuah tahap kehidupan profesional yang lebih menenteramkan ketika ia berhasil melihat kondisi, fakta, data, dan atmosfer yang sama dengannya namun berbeda dalam memaknainya.
Teman lain memaknai kondisi itu sebagai angka enam, sementara dari kacamata teman itu memaknainya dalam angka sembilan! Mengapa berbeda? Inilah yang menjadi pelajaran, yang berhasil disimpan oleh teman saya itu. Dan karena saya mendapatkan ceritanya, maka sayapun menjadi bagian dari pembelaaran atas cerita yang disampaikannya.
Apa misalnya? Tidak perlu jauh dan muluk-muluk. Teman saya bercerita bahwa kawannya yang jga guru tersebut, harus sudah sampai sekolah pukul 07.00, karena anak-anak didiknya akan memulai pelajaran tepat pada pukul 07.15. Dan baru dapat meninggalkan sekolah lebih kurang 20 menit setelah anak didiknya pulang sekolah seusai menjalankan Shalat Ashar, sekitar pukul 16.00!
Jadi, dengan mengerti rasa dan cita apa yang menjadi kewajiban teman-teman secara sungguh-sungguh, maka dari sana pintu pengertia itu terbuka untuk saya. Inilah pelajaran yang saya dapat dari melihat bagaimana orang menjalankan hidupnya, sebagaimana saya juga melakukannya. Semoga!
Makna ini saya temukan baru saja ketika saya bertemu dan berbincang dengan teman-teman yang bergerak dalam profesi yang persis sama. Dimana teman marasakan bagaimana ia merasakan sebuah tahap kehidupan profesional yang lebih menenteramkan ketika ia berhasil melihat kondisi, fakta, data, dan atmosfer yang sama dengannya namun berbeda dalam memaknainya.
Teman lain memaknai kondisi itu sebagai angka enam, sementara dari kacamata teman itu memaknainya dalam angka sembilan! Mengapa berbeda? Inilah yang menjadi pelajaran, yang berhasil disimpan oleh teman saya itu. Dan karena saya mendapatkan ceritanya, maka sayapun menjadi bagian dari pembelaaran atas cerita yang disampaikannya.
Apa misalnya? Tidak perlu jauh dan muluk-muluk. Teman saya bercerita bahwa kawannya yang jga guru tersebut, harus sudah sampai sekolah pukul 07.00, karena anak-anak didiknya akan memulai pelajaran tepat pada pukul 07.15. Dan baru dapat meninggalkan sekolah lebih kurang 20 menit setelah anak didiknya pulang sekolah seusai menjalankan Shalat Ashar, sekitar pukul 16.00!
Jadi, dengan mengerti rasa dan cita apa yang menjadi kewajiban teman-teman secara sungguh-sungguh, maka dari sana pintu pengertia itu terbuka untuk saya. Inilah pelajaran yang saya dapat dari melihat bagaimana orang menjalankan hidupnya, sebagaimana saya juga melakukannya. Semoga!
Jakarta, 13 Juni 2013.
No comments:
Post a Comment