Dalam sebuah seminar dimana saya diminta menjadi fasilitator, tidak jarang keluar pernyataan dari peserta yang adalah guru bahwa kondisi mereka, ada dalam keadaan ketidakadilan. Ini karena mereka merasa bekerja jauh lebih berat, dalam hal ini mengajar dengan tanggungjawab lebih banyak dari pada tuntutan dari sekolah, seperti misalnya mereka harus memiliki tatap muka sebanyak 24 jam pelajaran. Alhasil, sekolah yang akan menambah kelas pararel atau rombongan belajar menjadi isu tidak menguntungkan bagi guru-guru. Ini karena dalam penambahan kelas pararel atau romobongan belajar tersebt akan berimplikasi kepada penambaan jumlah jam megajar secara menyeluruh. Ujungnya adalah penambahan jumlah jam tatap muka di dalam kelas bagi semua guru. Meski secara hitungan dengan basis struktur kurikulum yang ada, jumlah jam tatap muka teman-teman itu masih berada pada rata-rata 18 hngga 20 jam pelajaran perpekanya. Artinya, masih kurang dari 24 jam pelajaran tatap muka menurut Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Pasal 35 ayat 2.
UU No.14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. |
Inilah mengapa saya menyebutnya sebagai perasaan yang seolah-olah paling menderita. Merasa bahwa seolah-olah aturan yang lahir itu memag sengaja dibuat hanya khusus untuknya. Tanpa melihat dengan kacamata yang jauh lebih lebar dan terang. Bahwa 24 jam tatap muka itu adalah syarat minimal aau sekurang-kurangnya. Juga tidak melihat bahwa 24 jam tatap muka itu dilihat dari 42 jam tatap muka yang ada di kelas pada satu pekannya menurut struktur kurikulum di sekolahnya.
Akan tetapi, untuk menghormatinya, maka lebih baik saya mengajak teman itu untuk melihat jadwal pelajaran yang ada di sekolah lain, yang memang masuk kelasnya normal sebagaimana yang ada di sekolahnya, namun pulangnya jauh lebih akhir.
Itulah yang saya temukan kepada sekolah-sekolah yang teman-teman gurunya bekerja jauh lebih banyak pun dengan semangat yag jauh lebih menggelora. Gaji? Mungkin jauh lebih sedikit dari teman saya yang komplain tentang mengajar tersebut. Dan sekolah-sekolah itu saya temukan di berbagai daerah yang sempat saya tengok dan kunjungi untuk karena suatu hal dan keperluan.
Dan dari pengalaman melihat bagamana sekolah lain secara lebih seksama, saya sendiri menjadi lebih mensyukuri dengan apa yang ada dihadapan saya. Apa yang menjadi amanah kepada saya sebagai guru. Dari pengalaman itu, saya juga menjadi memiliki perasaan bahwa kondisi saya adalah kondisi yang bukan paling menderita!
Jakarta, 11 Juni 2013.
No comments:
Post a Comment