Januari 2015, menjadi bersejarah (kembali) dalam kancah dunia pendidikan di negeri saya, Indonesia. Ini tidak lain karena implikasi dari pengumuman pemerintah yang disampaikan oleh Bapak Menteri Pendidikan Dasarnya, Pak Anies pada Jumat, 5 Desember 2014, berkenaan dengan keberlangsungan penggunaan Kurikulum 2013. Dan meski tidak hingar bingar, banyak teman-teman saya yang menyambut keputusan besar itu dengan antusias. Bahkan ada beberapa kreativitas dalam bentuk design batu nisan bagi Kurtilas lengkap dengan tanggal lahir dan matinya, yang kemudian up load berantai.
Saya sendiri, sedih. Karena bukan belum siapnya K-13 itu dilaksanakan di tataran bawah, tetapi lebih dari adanya ketidaksinambungan logika berpikir dalam sebuah kebijakan negara yang bernama kurikulum 2013 itu. Karena pemerintahan sebelum dan yang baru ini bukankah yang berganti hanyalah Presiden dan Bapak Menterinya? Sedangkan untuk kepentingan bangsa maka mereka menanggalkan seluruh atribut primordialnya dengan keunggulan bangsa? Apakah itu ditetapkan untuk penggunaan suatu sistem atau penangalan atau pergantian sebuah sistem?
Dan atas nama cara berpikir semacam itulah, saya layak untuk bersedih.
Kesedihan yang lain dari apa yang disampaikan secara lisan oleh Pak Menteri Anies di tivi saat itu adalah sebuah dalih bahwa, Indonesia pernah melakukan penggunaan 2 model kurikulum dalam satu kurun waktu. Pernyataan benar. Tetapi juga cetek berpikirnya.
Mengapa? Baiklah saya akan kemukakan sebuah pengalaman yang tidak mengenakkan dari anak saya yang duduk di bangku SMP, dan seluruh generasinya yang lulus sekolah di tahun 2007. Ini tidak lain karena anak saya bersekolah di sekolah yang menerapkan Kurikulum Berbasis Kompetensi atau KBK sebagai bagian dari sekolah percontohan. Sedang kurikulum yang sedang berlaku kala itu adalah dokumen kurikulum 1999.
Implikasinya? Ternyata disaat Ujian Nasional, ada perbedaan kualitas soal, atau gradasi kesulitannya, antara sekolah percontohan dengan sekolah lain pada umumnya. Dan karena perbedaan gradasi kesulitannya itulah maka nilai rata-rata Ujian Nasional berbeda antara sekolah pengguna KBK dengan Non-KBK. Dengan perbedaan itu, maka berbeda pula kualitas angka 8 yang didapat oleh anak-anak berKBK dengan yang tidak. Repotnya nilai rata-rata anak-anak yang ber-KBK di bawah rata-rata nilai UN anak-anak non-KBK.
Aneh dan ajaibnya, pada tahun itu banyak anak-anak pintar dari sekolah ber-KBK yang harus kalah untuk dapat masuk ke jenjang SMA. Dan saya ingat ketika memberikan support kepada Bapak dan Ibu Kepala Sekolah untuk datang ke sebuah SMPN di bilangan Jakarta Selatan, yang menjadi induk bagi pelaksanaan UN tahun itu di Jakarta, guna meminta klarifikasi. Hasilnya? Tidak ada yang berani membuat keputusan pembelaan bagi anak-anak yang lulus di tahun 2007 oleh siapapun dari negeri yang bernama Indonesia.
Catatan ini bukan keluhan, sekedar pengingat bagi saya akan sebuah masa dan sebuah keputusan, dimana logika tidak digunakan secara holistik.
Jakarta, 26 Desember 2014.
No comments:
Post a Comment