Ini adalah catatan saya sebagai refleksi dari apa yang dilakukan teman saya yang juga adalah seorang yang tergolong pintar. Bukan karena teman saya itu adalah peminum dari obat batuk yang diiklankan oleh Pak Menteri, tetapi karena ia sedang menduduki jabatan sebagai seorang pimpinan tertinggi di sebuah sekolah swasta. Dan dengan jabatannya itulah, setidaknya saya meyakininya bahwa ia termasuk dalam kelompok orang-orang yang pintar. Setidaknya bukan orang yang biasa-biasa saja.
Terlebih dengan sepak terjangnya selama beliau menjalani karirnya sebagai guru. Beberapa kota yang ada di negara-negara maju telah dikunjunginya. Maka tidak salah bila saya termasuk orang yang senang dalam menjalin persahabatan setelah kami dipertemukan dalam sebuah kegiatan sekolah.
Banyak cerita-cerita yang disampaikannya ternyata bersentuhan dengan apa yang saya alami diawal-awal saya sebagai guru muda. Seperti pengalamannya berkonfrontasi seorang dengan seorang tokoh nasional yang kebetulan menjadi bagian dari komite Sekolahnya. Dimana tokoh itulah yang menyadarkan kepada saya dikala itu untuk tidak mudah mengeluarkan pendapat. Namun harus pintar dalam mengukur diri kapan seyogyanya memberikan komentar dalam sebuah percakapan atau diskusi informal.
Namun, bangunan persepsi yang saya miliki itu runtuh manakala sahabat yang saya kagumi itu menyampaikan pertanyaan ata lebih tepatnya pernyataan pada saat kami sama-sama mengikuti kegiatan belajar disebuah forum resmi.
"Apa menurut Bapak, jika ada sekolah yang berkomitmen pada sebuah bidang tetapi pemimpin atau kepala sekolah di lembaga tersebut justru pada titik itu tidak memiliki kemampuan pribadi?" Begitu kalimat yang disampaikannya. Dan pernyataan itu tentu difahami sekali utamanya oleh sebagian yang hadir. Karena sesungguhnya ia sedang membuat pernyataan yang ditujukan kepada kepala sekolahnya, yang juga adalah bawahan dan anak buahnya?
Pernyataannya itu justru membuatnya tidak sangat pintar. Sebaliknya, membuat saya sebagai orang luar dapat memberikan nilai buruk atas kompetensinya sebagai pemimpin di sebuah lembaga yang dimanahkan kepada dirinya. Pernyataannya itu telah menelanjangi dirinya sendiri bahwa ia adalah sosok pemimpin yang selalau mengacungkan telunjuk jarinya atas keburukan yang dia atau bahkan bawahan yang milikinya. Dia yang semestinya memiliki otoritas untuk mengekskusi sebuah pertanyaan dan keraguan yang ada dilembaga yang dipimpinnya justru mempertanyakan?
Dan sebagai akhir dari catatan saya ini, saya ingin sekali menjadikannya sebagai butiran pelajaran hidup di masa berikutnya nanti. Khususnya untuk saya pribadi.
Jakarta, 8 September 2014.
No comments:
Post a Comment