Jumat, 26 September 2014 itu menjadi titik akhir di DPR RI dalam mengambil keputusan atas apa yang mereka bahas dalam sidang-sidang sebelumnya tentang RUU Pemilukada Langsung atau tidak Langsung. Dan hasil paripurna melalui voting telah diputus bahwa RUU itu menjadi UU dengan pilihan pada Pemilukada tidak langsung. Itu artinya, untuk kepala daerah tidak lagi ada pemilu. Karena para kepala daerah nantinya akan dipilih oleh anggota legeslatif di DPRD.
Terlepas dari itu, pro kan kontra, saya tergelitik dengan apa yang disampaikan oleh teman dalam sebuah obrolan pinggir jalan. Karena obrolan berlangsung benar-benar di pinggiran jalan saat kami kebetulan bertemu. Dan karena obrolan pinggir jalan, maka jangan bertanya data statistik atau analisa dengan argumentasi berliku.
Saya sampaikan, obrolan pinggir jalan itu di dalam catatan ini dalam bentuk dialog saja.
A: Demokrasi telah mati. DPR telah merampas hak rakyat untuk menentukan demokrasi.
B: Lho... bukankah kalau yang milih anggota DPRD juga masih bisa dikatakan demokrasi? Bukankah anggota DPRD merupakan perwujudan dari rakyat? Bukankah mereka disebut wakil rakyat? Lupa ya sama syair lagunya Mas Iwan?
A: Ya berbeda dong. Dengan Pemilukada langsung, rakyat bisa menentukan siapa kepala daerahnya yang paling baik. Kepala daerahnya menjadi pilihan mereka langsung. Rakyat menentukan secara langsung. Tidak perlu diwakilkan. Itu demokrasi.
C: Mas, percuma saja kalian diskusi ngotot soal Pemilukada langsung. Ngomong saja pinter. Bukankah kalian tidak pernah datang ke TPS saat pemilu? Jadi golput saja protes.
Jakarta, 27 September 2014.
No comments:
Post a Comment