Beberapa hari lalu, saya mendapat cerita dari teman baik saya yang sekarang mendapat amanah sebagai kepala sekolah di sebuah SMP swasta di Jakarta. Ia teman lama saya sejak tahun 2000an lalu. Berkenalan oleh sebuah kepentingan bersama, yaitu mengembangkan keterampilan guru dalam mengelola pembelajaran di dalam kelas.
Tentu, karena kami berangkat dari profesi yang sama, maka cerita yang dia sampaikan epada saya adalah cerita tentang guru-gurunya. Memang banyak juga yang dia sampaikan kepada saya selain cerita tentang guru. Seperti cerita tentang orangtua siswa dan anakanak didiknya. Namun dalam catatan ini, mungkin saya akan tuliskan sekelumit perilaku teman gurunya, yang kemudian nanti kita dapat mengambil pelajaran darinya. Semoga.
Selalu Merasa Benar Sendiri
Mungkin karena konsep inilah yang membuat seorang guru antara lain tidak dikehendaki oleh lingkungannya. Sebuah konsep yang dirinya sendiri boleh jadi tidak menyadarinya akan kekeliruan yang menjadi komitmen batinnya. Dan karenanya juga, ia terkucil secara sosial ataupun profesionalisme.
Juga menjadikan dirinya mudah mengungkapkan kata dan kalimat yang tinggi citarasanya, namun sama sekali tidak memberikan rasa percaya dari teman-teman yang sudah mengenalnya dengan baik. Nasehat? Semua yang ada di lingkungannya meyakini bahwa ia tidak perlu lagi nasehat. Dalam bentuk apapun. Jadilah ia sebagai pribadi yang merasa selalu benar dan selalu berada pada posisi yang lebih pintar, lebih berpikir masa depan, dibanding seluruh manusia yang berada di sekitarnya.
"Lembaga ini telah berbuat zalim kepada kami semua sebagai pekerjanya. Zalim!" Begitu suatu kali ia mengungkapkan rasa amarahnya, pada saat ide dan pemikirannya tidak mendapatkan sokongan sebagaimana yang dikehendakinya. Sebuah ungkapan yang tajam sekaligus menantang untuk diuji kebenarannya.
Lalu pada kesempatan yang berbeda, ia ulang kembali kata dan kalimat seperti itu, manakala permohonan pinjamannya kepada lembaga belum mendapat respon sebagaimana yang dibutuhkannya. Mengingat permohonannya itu sangat dia perlukan secara mendesak sebagai penutup cicilan rumah yang telah terlambat beberapa bulan sehingga pihak pemberi kredit akan menyegel rumahnya.
Atau juga dengan kasus lain yang menyangkut kepada keberadanaanya di dalam kelas, sebagai kewajiban pokoknya sebagai guru. Teguran yang disampaikan kepadanya dari pihak kepala sekolah tidak akan serta-merta diterimanya sebelum ia memberikan argumentasi bahwa ketiadaan dirinya di dalam kelas pada jam pelajarannya adalah sebuah kebenaran!
Maka kata dan kalimat sebagaimana yang saya kutip di atas, adalah uangkapan yang amat ringan dan lancar keluar darinya. Dan karena itulah ia menjadi sosok yang benar-benar tidak dikehendaki oleh lingkungan terdekatnya di lembaga dimana ia mengimplementasikan kepintaran dan kepiawaiannya sebagai guru. Ia menjadi sosok yang diharamkan oleh teman-teman yang menjadi koleganya.
Dan kalau keberadaannya saja tidak dikehandaki oleh lingkungan sosial yang mengenalnya, apalagi pikiran dan ucapan-ucapannya. Namun sekali lagi saya sampaikan bahwa, ia sendiri tidak pernah ingin dan belum juga mau belajar bahwa ia tidak tahu kalau selalu merasa benarnya adalah penyakit yang menjauhkan dirinya dengan lingkungannya.
Pelajaran
Untuk saya sendiri, pelajaran yang dapat diambil antara lain adalah bahwa apa yang akan menjadi hak kita dimasa depan kita, adalah apa yang kita upayakan pada hari ini dan juga hari-hari yang lalu dalam melakukan dan menjalani kehidupan bersama-sama dengan teman-teman dalam lembaga dimana kita berada bersama.
Dari sanalah maka saya sedapat mungkin harus mengasah kepekaan radar sosial saya. Sebuah lingkungan yag memberikan kepada kita feed back atas apa yang saya ejawantahkan. Lingkungan yang memberikan kepada saya kepercayaan. Lingkungan yang menumbuhkan saya menjadi lebih baik dan seterusnya.
Sebagaimana yang disampaikan oleh fikikawan ternama Indonesia tentang konsep mestakung. Semesta mendukung. Bahwa keinginan, perilaku, dan juga daya upaya yang baik serta positif akan didukung oleh seluruh unsur lingkungan sekitarnya. Semoga.
Jakarta, 5 September 2014.
No comments:
Post a Comment