Siang hari itu, datang seorang kameramen dan reporter dari acara gosip yang tayang saban hari di sebuah tivi Indonesia ke sekolah. Dengan yakin dua jurnalis ini memasuki halaman sekolah dan meminta izin kepada Satpam untuk bertemu dengan kepala sekolah. Dan kebetulan pula pada siang itu, semua kepala sekolah sedang berkumpul di salah satu ruangan untuk membahas sesuatu hal secara rutin.
"Mohon izi Ibu Kepala Sekolah, kami mengantar reporter tivi untuk mewawancarai Ibu. Apakah Ibu sudah dapat konfirmasi sebelumnya?" Demikian suara dari seorang Satpam kepada Ibu kepala sekolah melalui saluran telepon lokal.
"Belum ada yang janji kepada saya untuk bertemu pada hari ini Pak? Tivi apa itu? Untuk wawancara tentang apa? Untuk acara apa? Apakah bisa ditanyakan? Kami tidak pernah menerima surat untuk wawancara atau peliputan dari media apapun?" begitu jawaban Ibu Kepala Sekolah yang sedikit kaget atas informasi yang dadakan seperti ini.
Pendek kata, setelah berdiskusi ngalor-ngidul, masuklah pewarta itu di ruangan Ibu Kepala Sekolah. Namun bukan untuk sebuah liputan atau wawancara ketika pertemuan itu berlangsung. Tetapi sebuah negosiasi agar supaya Ibu Kepala Sekolah atau salah satu guru yang ada di sekolah itu dapat sedikit memberikan komentar atau mungkin pendapatnya atas sebuah peristiwa yang sedang menimpa salah satu selebritis yang kebetulan adalah alumni di sekolah itu.
"Jadi itulah maksud kedatangan kami Bu. Kami ingin sekali mengetahui apa yang pernah selebritis itu jalani selama bersekolah di sekolah ini. Jadi bukan untuk meliput kegiatan sekolah yang sedang berlangsung Bu." begitu reporter itu menyampaikan maksud kedatangannya. Ibu Kepala Sekolah, yang mengalami hal seperti ini lebih dari satu kali, tentunya tidak mudah memutuskan iya.
"Kalau itu yang ingin diliput, kami no comment. Itu masuk dalam wilayah pribadi orang. Dan kami sebagai pendidik, tidak ada tempatnya ikut serta dalam bagian yang sedang mendiskusikan kemalangan seseorang. Jadi kami tidak memberikan izin atas peliputan seperti itu." Jelas Ibu Kepala Sekolah.
"Kan dulu dia menjadi siswa Ibu?" kejar si reporter.
"Maaf juga, bahwa dia sekolah tidak saja di bangku SD. Ada SMP, SMA, atau perguruan tinggi." kata Ibu Kepala Sekolah.
"Benar. Tetapi kami memilih sekolah ini karena dia begitu banyak menyebut sekolah ini pada peristiwa sebelumnya."
"Meski begitu, kami tidak akan memberikan pernyataan apapun. Kami pendidik." jelas Ibu Kepala Sekolah lagi.
"Baik Bu. Kalau begitu, bisakah ketidakbersediaan Ibu itu Ibu tulis dalam surat. Dari surat itu nanti kami akan menjadikan sebagai laporan untuk bos saya di kantor?" desak tamu itu lagi.
"Maaf Mbak. Anda datang ke sekolah kami untuk melakukan wawancara juga tidak ada konfirmasi sebelumnya apalagi surat. Jadi apa kepentingan dan urgensi kami harus membuat pernyataan tertulis alias membuat surat?" kata Ibu Kepla Sekolah.
Jakarta, 14.08.2014.
No comments:
Post a Comment