Sore itu, saya naik bus dari Giwangan di Yogyakarta menuju arah barat, Purwokerto. Dan kebetulan, saya mendapatkan giliran bus yang berpendingin udara. Jadi selain kursi bus yang masih empuk, saya juga tidak bakalan kepanasan. Ini benar-benar sebuah keberuntungan. Karena seringnya saya mendapatkan giliran bus ekonomi yang beberapa jendela penumpangnya dibuka.
Tapi buka itu yang ingin saya jadikan catatan di sini, melainkan sebuah pengalaman berada di dalam bus umum dan dihibur oleh penghibur perjalanan, yang biasa disebut orang sebagai pengamen.Dan dari para penghibur itulah saya bercermin dan menimba pelajaran. Ini karena selain kondisi bus yang saya dapat, begitu bus akan keluar terminal, naik seorang Ibu dengan pakaian khas Jawa dan bergitar. Tentunya dengan syair lagu Jawa yang dihafalnya dari larik pertama hingga terakhir, dan dengan suara yang enak meski tidak terlalu merdu. Juga dengan iringan petikan gitar yang persis seperti siter. Nglangut, istilah Jawanya, dan menghanyutkan ketika larut dalam alunan lagu itu.
Lagu pertama selesai, lanjut ke lagu berikutnya, hingga lebih kurang ada lima lagu. Dan dari lagu-lagu itu, diahiri dengan salam terimakasih atas perhatian kami semua. Dan sang pemusik itu baru turun di sekitar daerah Ambar Ketawang. Atas hiburang yang telah diberikannya dengan anggun itulah maka saya dan hampir semua penumpang memberinya upah dengan tulus dan ikhlas.
Pengalaman serupa juga saya alami ketika saya naik bus ekonomi dari Purworejo menuju Gombong pada sebuah libur Idul Adha untuk berjumpa dengan teman akrab saya semasa sekolah. Dengan penghibur perjalanan yang, kalau saya rangking kualitas suaranya jauh dibanding perjalanan saya dari Giwangan sampai Ambar Ketawang itu. Tapi pemusik dengan gitar itu selalu tuntas membawakan lagunya dan dengan penuh penghayatan. Bukan lagu cinta saja yang dibawakan, tetapi juga lagi kehidupan.
Dan seperti juga pengalaman sebelunya, ketika penghibur itu mengakhiri 'pertunjukkannya' dengan salam yang santun, maka saya dan sebagian besar penumpang lainnya memberinya uang pecahan secara tulus dan ikhlas.
Berbeda
Apa yang saya alami tersebut tampaknya berbeda dengan apa yang disampaikan anak saya di sore itu. Sebuah pengalaman anak saya ketika ia pulang kerja di sebuah angkutan umum. Sebuah fakta yang sesungguhnya bukan saja berbeda, tetapi justru berlawanan. Bahwa seorang penghibur perjalanan, masuk kendaraan yang ditumpanginya, dan sebelum menampilkan kebolehannya, membuka percakapan dengan penuh kebanggaan akan masa lalunya yang kelam. Atau mungkin sengaja menyebarkan aura takut?
Menampilkan permainan gitar yang mengabarkan ketidak semangatanya. Serta mengakhiri penampilannya dengan salam yang juga menebar rasa ketidaknyamanan kepada penumpang, termasuk anak saya. Mungkin ada beberapa orang yang kemudian akan merogoh uang pecahannya, tetapi pasti dengan rasa keterpaksaan dan pastinya ketidaktulusan dan keikhlasan.
Cermin
Dari dua pengalaman tersebut, saya mengambil pelajaran untuk mencintai kesungguhan dan ketulusan. Kesungguhkan terhadap apa yang harus kita lakukan dan kerjakan karena itulah lahan bagi saya untuk mewujudkan konsepsi kinerja yang bagus. Dan ketulusan dalam melaksanakan kewajiban dengan harapan upaya itu memberikan fibrasi kepada apa yang akan kita dapat dikemudian hari.
Dan tentunya kita sepakat bahwa jalan pertama adalah model jalan yang mejadi pilihan kita bersama. Baik kita sebagai apapun dan dengan pekerjaan dimanapun. Semoga!
Jakarta, 4 Agustus 2014.
No comments:
Post a Comment