Pagi ini, dalam
perjalanan saya menuju lokasi rapat, di jalan yang tidak terlalu padat,
kendaraan saya saya tumpangi mendapat klakson beberapa kali dari kendaraan yang melaju persis di belakang. Ini mungkin karena kendaraan dimana saya berada, berjalan
lambat. Dengan kenyataan itulah barangkali pengemudi kendaraan itu merasa tidak
nyaman dan bahkan jengkel, karena menganggab saya sebagai pengemudi begitu lelet, tidak efektif, dan membuang-buang waktu di jalanan dengan percuma.
Saya memaklumi kenyataan
seperti ini. Mengingat hal seperti ini sudah sering saya alami. Sehingga pengalaman
di pagi itu bukan merupakan pengalaman pertama. Mengapa orang dengan posisi
sebagai yang membunyikan klakson tersebut terjadi dan berulang?
Dari benak saya
keluar sedikit analisa, lebih kurangnya sebagai berikut; Pertama, bahwa
kendaraan orang yang berada di belakang kendaraan saya itu ukurannya lebih
pendek dari kendaraan yang saya kendarai. Ini memungkinkan bahwa jarak pandang
pengemudinya terbatas, tertutup oleh bodi kendaraan di depannya. Maka apa yang saya liat tidak dapat ia lihat. Atau ia tidak melihat apa yang ada di depan mobil saya. Berbeda jika kendaraannya tinggi atau minimal sama dengan yang saya kendarai, atau berada sedikit menyamping ke kanan, sehingga ia dapat 'mengintip' apa yang ada di depan saya.
Yang membuat saya
prihatin adalah kalau memang pengemudi tersebut terbatas jarak pandangnya,
mengapa kendaraan saya yang berjalan pelan harus 'diingatkan' dengan bunyi
klaksosnya yang berulang? Mengapa ia tidak mencoba berpikir positif dan
futuristik, misalnya dengan berprasangka kalau laju kendaraan saya yang pelan karena
mungkin terhalang sesuatu di depannya sehingga harus mengurangi laju
kecepatannya? Sesuatu yang tidak dapat dilihatnya? Sehingga kalau begitu maka tidak arif jika ia membunyikan klakson
ketika 'mengingatkan' saya menambah laju kecepatan?
Kedua, kenyataan bahwa
menyangka saya telah melajukan kendaraan dengan lambat tanpa menakar alasannya,
adalah bentuk sikap terburu-buru untuk membuat kesimpulan. Terlalu berprasangka yang bertolak belakang dengan realita.
Atas kedua realitas itu,
saya kok menemukan kesejajaran atas fenomena tersebut pada akhir-akhir ini di
laman media sosial. Yaitu berupa komentar-komentar, reaksi-reaksi verbal, atas keadaan sekitarnya. Tetapi
sebagaimana yang saya alami tersebut, maka komentar dan atau reaksi mereka, sesungguhnya sangat
tergesa dan tidaklah matang.
Bahkan tidak jarang,
karena saking terburu-burunya komentar dan reaksi itu, bisa juga kita menyamakan komentar dan reaksi mereka seperti celetukan yang tidak bernas dikala rapat kantor atau seminar. Akibatnya komentar seperti itu,
justru membuat catatan tidak baik dikemudian hari bagi komentatornya. Dari sini
juga saya mendapat pelajaran untuk bersabar dan menunggu apa yang sesungguhnya
sedang dilakukan oleh personal yang ada di sekitar saya.
Dengan sabar,
mudah-mudahan saya mendapatkan tambahan informasi atas fenomena yang ada.
Sehingga saya menjadi lebih dapat memberikan tanggapan dan kesimpulan, atau komentar dan reaksi, yang
relatif lebih komprehensif. Semoga.
Jakarta, 22-23 Juli 2014.
No comments:
Post a Comment