Pagi itu, sebagaimana biasanya, saya menjadi bagian dari ritual pagi hari di sekolah. Ini kesempatan saya, dari beberapa banyak sekali kesempatan, bagi saya, yang tidak memiliki jam mengajar pasti di kelas-kelas yang ada di tingkat TK, SD, dan SMP, untuk mengenal anak-anak. Mengenal nama-nama mereka. Mengenal karakter dari masing-masing mereka. Termasuk uga adalah ikut serta menikmati kegiatan yang sedang mereka lakukan di pagi hari itu.
Dan pagi itu, tampaknya menjadi pagi hari yang berbeda dari pagi hari yang lain yang pernah saya temukan. Karena pagi hari itu adalah awal bulan. Dan itu berarti guru konseling kami akan memaparkan hasil diskusi dia bersama anggota dewan guru yang lain, dalam menentukan siapa saja anak didik kami yang istimewa pada bulan lalu. Kami menyebutnya sebagai siswa berprestasi.
Belajar Konsisten
Dari tiga bidang yang dinilai sepanjang bulan oleh teman-teman guru itu, maka bagi saya ada satu hal yag menjadi begitu menarik untuk saya sampaikan dalam catatan saya ini. Itu adalah konsistensi dalam memperbaiki diri. Dan para bagian ini, ada siswa kelas 8 yang mendapatkannya.
Ia adalah seorang siswa yang sejak berada di TK saya mengenalnya. Berbagai hal dan cerita yang pernah dilakoninya sebagai bagian dari anak remaja di kota besar yang juga sibuk dengan driver kemana dan dimana pun ia berada. Seperti pada siang yang lalu, dimana saya melihat bagaimana mobilnya yang berisi antara lain adalah bantal, sepatu, pakaian, dan lain-lain, sebagaimana kalau kita ingin berkendara untuk tujuan yang jauh. Hampir semua perlengkapan mandi dan dandan, ada di sana.
Beberapa kali juga saya mendengar bahwa ada yang harus menjadi perhatian dari sekolah karena perkembangan emosi sosialnya. Tentu itu sebelum ia menjadi satu dari sekian anak yang berdiri di depan teman-temannya karen prestasinya itu.
Karena ketika pagi itu, ia adalah profil siswa yang secara konsisten memperbaiki diri dan visinya dalam mengarungi masa remajanya. Koordinat perilaku dan komitmennya begitu pasti. Sesuatu yang sunguh membuat, antara lain saya, kagum.
"Kapan ia belajar menjadi konsisten?" tanya saya kepada seorang guru.
"Sejak ia masuk di gerbang remaja. Dan saat ia berminat menjadi ketua OSIS." jelas teman saya.
Dari sekelumit cerita itu, saya belajar satu hal tentang anak-anak didik kami. Bahwa anak-anak itu, siapapun dia, adalah tunas-tunas yang penuh harapan. Kadang tumbuh rasa dari diri kita untuk tidak begitu meyakini terhadap harapan yang kurang positif, sehingga membuat kita merasa lelah dan berputus asa untuk berikhtiar. Tetapi, selama harapan baik dan ikhtiar yang tiada putus-putusnya, anak-anak itu seperti menghampiri cahaya yang akan membuatnya turut serta dalam bersinar da memberikan keterangbenderangan. Sebuah relaita yang kembali memberikan kepada kami semangat. Hebat!
Jakarta, 3 Desember 2013.
No comments:
Post a Comment