Kalau dengan harga murah justru dipertanyakan keabsahannya, leglitasnya sebagai hasil pertanian organik, maka menjadikan mahal adalah sebuah pilihannya untuk dapat disajikan di meja makan. Inilah sebuah anomali konsep dagang, yang kemudian dianut oleh Cak Slamet dan teman-teman yang ada di Kampung Organik Brenjonk, Trawas, Mojokerto. Sebuah anomali yang justru menjadi keuntungan baginya dan teman-temannya yang tergabung dalam komunitas Brenjonk itu.
Karena alasan harga itu juga, saya ketika berada dalam sebuah super market hanya mampu memboolak-balok produk organik yang terpajang tanpa tega memasukkan ke keranjang belanjaan. Itu karena harganya masih terlalu tinggi untuk saya dan keluarga.
Beras tuton dari kampung Brenjonk. |
Mahal? Memang, dalam kemasan plastik yang telah dipadatkan, dengan berat 2 kilogram dan harga 35 ribu rupiah, menjadi pilihan saya. Dan ini sebuah latihan lidah bagi kami sekeluarga untuk merasakan bagaimana rasa beras tuton yag masih penuh dengan kulit ari beras. Gurih, beda, dan mengenyangkan meski dengan suapan yang tidak terlalu banyak porsinya. Mungkin itu yang menjadi ungkapan pertama saya.
Jakarta, 24-25 Nopember 2013.
No comments:
Post a Comment