Bapak tidak melihat perbandingan saya sekarang dengan saya dulu. Sekarang saya kan lebih baik!
Pernyataannya bahwa ia telah berubah dan kenyataannya memang benar sekali. Sangat mungkin bahwa berbedanya waktu dulu dan kini membuat orang atau kita berubah atau merubah diri menjadi labih baik. Kebenaran ini tidak saja menjadi ukuran saya sendiri yang kebetulan adalah teman sejawatnya, tetapi teman yang lainpun memiliki penilaian yang sama. Dan sesungguhnya perubahan ini tidak hanya menjadi miliknya seorang. Karena semua kita sesungguhnya juga merubah diri sesuai tuntutan lingkungan sekitar kita.
Pernyataannya bahwa ia telah berubah dan kenyataannya memang benar sekali. Sangat mungkin bahwa berbedanya waktu dulu dan kini membuat orang atau kita berubah atau merubah diri menjadi labih baik. Kebenaran ini tidak saja menjadi ukuran saya sendiri yang kebetulan adalah teman sejawatnya, tetapi teman yang lainpun memiliki penilaian yang sama. Dan sesungguhnya perubahan ini tidak hanya menjadi miliknya seorang. Karena semua kita sesungguhnya juga merubah diri sesuai tuntutan lingkungan sekitar kita.
Namun jika perubahan tersebut menjadi hujjah kita untuk memberikan argumentasi tentang perubahan yang dituntutkan kepada kita karena hanya melihat bahwa dalam diri kita masih butuh banyak yang dirubah, menjadi perkara yang berbeda. Perkara yang tidak lagi sederhana. Karena pembelaan itu, yaitu dengan ungkapan bahwa; saya sekarang sudah jauh berbeda dengan saya yang dulu, jelas sekali memiliki logika penolakan atau pengingkaran. Logika perbantahan. Suatu cara untuk mempertahankan diri atas kenyataan bahwa dalam diri kita masih ada bagian yang membutuhkan perbaikan.
Maka kalau yang dimintakan adalah perubahan, maka sesungguhnya argumen kita tersebut adalah penolakan atas ajakan untuk lebih berubah. Dan hal itu menunjukkan adanya perbedaan dalam cara melihat atau cara memandang. Dalam diri kita melihat bahwa apa yang menjadi fakta dalam diri kita telah cukup mampu berkontribusi sesuai dengan apa yang diekspektasikan lembaga, jika kita menjadi bagian dari lembaga. Sementara lembaga melihat bahwa apa yang kita telah tunjukkan atau kontribusikan masih membutuhkan akselerasi lebih cepat, lebih baik, atau bahkan lebih banyak. Perbedaan persepsi inilah yang kemudian memunculkan lahirnya deviasi atas harapan dan kenyataan.
Maka lahirlah pertanyaan berikut; ekspektasi siapakah yang dapat menjadi pegangan kita bersama? Kita secara pribadi atau lembaga?
Maka kalau yang dimintakan adalah perubahan, maka sesungguhnya argumen kita tersebut adalah penolakan atas ajakan untuk lebih berubah. Dan hal itu menunjukkan adanya perbedaan dalam cara melihat atau cara memandang. Dalam diri kita melihat bahwa apa yang menjadi fakta dalam diri kita telah cukup mampu berkontribusi sesuai dengan apa yang diekspektasikan lembaga, jika kita menjadi bagian dari lembaga. Sementara lembaga melihat bahwa apa yang kita telah tunjukkan atau kontribusikan masih membutuhkan akselerasi lebih cepat, lebih baik, atau bahkan lebih banyak. Perbedaan persepsi inilah yang kemudian memunculkan lahirnya deviasi atas harapan dan kenyataan.
Maka lahirlah pertanyaan berikut; ekspektasi siapakah yang dapat menjadi pegangan kita bersama? Kita secara pribadi atau lembaga?
Inilah pendapat saya. Pertama; Untuk menjawab pertanyaan ini, secara sederhana, saya memetaforakan problema ini dengan kita mengunjungi rumah orang lain. Bertamu. Ketika akan bertamu ke rumah orang lain, ini karena kita adalah pekerja di lembaga milik orang lain, maka akan ada konsepsi tata krama sebagai berikut: Mengacu kepada aturan agama. Yaitu ketuk tiga kali dan jangan sekali-kali berusaha mengetahui apa yang sedang terjadi di dalam rumah dengan cara mengintip. Maka jika telah diketuk tiga kali namun tuan rumah, jika ada di dalam rumah, belum juga membukakan pintu, maka kita harus meninggalkan rumah tersebut.
Apa artinya? Artinya bahwa kalau kita sebagai tamu, maka posisi tawar kita adalah sub-ordinat. Ini berbeda posisi dengan atau jika kita adalah si tuan rumah. Hal yang sama juga linier jika kita adalah seorang karyawan di sebuah lembaga yang memberikan kita kerja, maka kita adalah bagian dari lembaga tersebut. Maka norma siapakah yang harus menjadi standar kerja?
Kedua; Berpikirlah bahwa kebaikan juga merupakan investasi. Yaitu bahwa sikap, perilaku, etos kerja, cara pandang dan keseluruhan dari tingkah laku kita yang baik harus kita pandang sebagai investasi penting bagi kita di kehidupan berikutnya. Dengan demikian maka jika lembaga menuntut kita dengan ekspektasi tinggi, tentu akan berimplikasi pada kita dimasa berikut.
Hal inilah yang banyak dialami oleh orang-orang sukses. Bahwa setiap kesuksesan yang telah mereka nikmati sekarang ini adalah buah dari tekanan, ekspektasi, dan mungkin dorongan dari luar dirinya diakulturasikan dengan kecerdasan mereka dalam meramu kenyataan itu dengan refleksi diri sehingga melahirkan kepribadian yang lebih integral, lebih unggul, dan lebih sukses. Setidaknya inilah yang saya fahami dari testimoni yang mereka inspirasikan untuk kita.
Ketiga; Jangan pelit untuk berbuat baik atau berubah menjadi baik. Janganlah kita menjadi pribadi yang menghitung-hitung ketika kita akan berbuat baik. Atau mengkalkulasi untung atau rugi kalau kita berubah dari kurang menjadi positif. Jika kita masih memiliki pemikiran seperti itu, maka sesungguhnya perasaan sombong sedang merajai hidup kita. Maka enyahkan perasaan itu dan kubur dalam-dalam. Atau kita akan tetap terpuruk di mata orang lain dan di ranah sosial.
Semoga saya dan Anda semua menjadi pribadi yang mudah berubah. Tentu berubah sesuai dengan tuntutan kebaikan dalam rangka menuju insan mulia. Dan mungkin Ramadhan 1431 H ini adalah momentum yang sangat baik. Amin.
Jakarta, 5-6 September 2010
No comments:
Post a Comment