Terinspirasi dengan model kepemimpinan yang ditulis oleh Adjie Suradji di Kompas 6 September 2010, saya merefleksikannya dalam bentuk kepemimpin untuk sebuah lembaga yang lebih kecil, lebih lokal, yang bernama sekolah. Dan refleksi iní sungguh sebuah kenyataan dan aktual bagi sebuah tongkat komando bagi pengembangan lembaga sekolah ke atah pembaharuan, maka pemimpin yang berani, termasuk di dalamnya berani mengambil resiko atas pilihan, visioner, dan tegar, adalah kebutuhan yang prioritas.
Apa yang dikemukakan oleh Adjie Suradji dalam artikelnya tersebut, bersinergi dengan apa yang dikemukakan Paul Keating, mantan Perdana Menteri Australia, berbicara tentang kepemimpinan. Ia mengatakan bahwa: Leadership is not about being nice. It’s about being right and being strong. (Kompas 17 Oktober 2006).
Yang saya tafsirkan dari being nice di level manajemen sekolah, atau kepala sekolah, adalah sikap yang hampir selalu miring ke kepentingan diluar profesionalitas guru dan karyawannya. Bisa jadi ini dilakukannya sebagai imbalan atas kesetiaan bawahan kepadanya selama ini. Padahal di sebuah lembaga yang bernama sekolah, terlebih sekolah yang bernaung di lembaga pendidikan swasta, sulit diharapkan visi dan misi lembaga dapat berjalan dan terealisasi di lapangan dengan baik. Oleh karenanya Manajemen di tingkat sekolah juga membutuhkan seorang yang memahami visi dan misi yang kuat atau strong, dan juga meyakini sebagai yang benar untuk diperjuangkannya pada tataran realitas di kehidupan sehari-hari dalam komunitas di sekolahnya.
Menjadi benar dan kuat, juga dapat saya maknai dengan kata lain bahwa, seorang kepala sekolah meski fleksibel dalam mengambil kebijakan, juga harus memiliki koordinat yang jelas. Di titik mana ia berdiri dalam sebuah gerakan pembahatuan di sekolahnya.
Mengapa pembaharuan menjadi isu sentral bagi sekolah dewasa iní? Ini tidak lain karena lembaga yang bernama Sekolah juga dituntut untuk memiliki rivalitas dengan lembaga sejenis dalam mempertahankan jumlah siswanya. Utamanya bagi lembaga sekolah swasta. Karena jumlah siswa sama artinya dengan tingkat kemampuan sekolah dalam membiayai hidupnya.
Pembaharuan seperti apa bagi sebuah sekolah yang dapat dikalkulasikan sebagai kapital untuk terus mampu berkiprah dalam rentang waktu yang lama? Pembaharuan yang berkelanjutan dalam merefleksikan denyut hidup yang ada di masyarakatnya. Sekolah yang tidak perduli dan atau tidak bersinergi dengan denyut hidup yang ada di masyarakatnya maka tidak akan menjadi pilihan. Maka disinilah urgensinya pemimpin sekolah yang visioner.
Kepala sekolah memiliki visi bilamana ia memiliki kemampuan membaca tanda-tanda hidup yang ada di lingkungannya, yang dapat menjadi bagian penting terhadap daya jual dan daya tawar bagi lembaga yang dipimpinnya. Kemampuan membaca tanda-tanda yang menjadi keunggulan sebuah lembaga sekolah, yang hidup dan tumbuh di lingkungannya itu juga harus mampu ia konsepkan dalam bentuk visi dan misi lembaga, yang kemudian menjadi kerangka perjuangannya di lapangan bersama stake holder yang ada dilembaga yang dipimpinnya.
Pada tahapan merealisasikan konsep keunggulan tersebut maka pemimpin butuh keberanian. Keberanian untuk merealisasikan. Dan visi serta misi yang dibangunnya adalah pemandu dan titik koordinat dimana ia harus berdiri dan berpijak.
Sedang ketegarannya, sangat ia butuhkan pada tahapan operasionalisasi visi dan misi itu. Dimana tidak semua unsur atau komponen dalam lembaganya mampu dengan tuntas memahami apa yang terumus dalam visi dan misi lembaganya. Kenyataan iní dapat melahirkan siiap diskoordinasi.
Maka ketegaran seotang pemimpin mengambil peran utama. Ia tetap selalu dituntut untuk memiliki komitmen dan konsistensi yang persisten terhadap garis pembaharuan yang diperjuangkan. Bahwa diantara komponen kerjanya yang belum dalam koordinasinya, adalah bagian dari tugasnya untuk memberikan pencerahan dan penemuan strategi baru untuk terus mensinergikannya.
Kenyataan yang sifatnya deviasi tersebut harus dimaknai olehnya sebagai bagian dari ikhtiarnya untuk melakukan pembaharuan dan bukan justru dijadikannya sebagai bahan untuk berkeluh kesah.
Jakarta, 14 September 2010 atau 5 Syawal 1431 H.
* Diambil dari PELITA, Rabu, 22 September 2010.
No comments:
Post a Comment