Ketika saya membuat catatan ini, sudah banyak saya mendengar teman-teman yang kepala sekolah atau yang menjadi kepala di kantornya begitu tidak mudahnya untuk 'membenarkan' orang-orang yang juga adalah bawahannya menjadi tidak terlambat masuk kerja. Atau kalau kepala sekolah, merasakan betapa tidak mudahnya dalam mengingatkan teman-temannya yang masih terlambat jam masuk kerja, adalah juga jam masuk kelas sesuai dengan jam mengajarnya di kelas tersebut.
Diarasakannya bahwa teman-temannya yang ngotot untuk dimengerti keterlambatannya itu justru menjadi berbusa argumentasinya ketika ia mencoba untuk menyadarkannya. Segudang kalimat mengelak atas keterlambatan yang telah tercatat di mesin absensi. Dan argumentasi itulah yang membuat sedikit pening di kepalanya.
"Mengapa kantor hanya fokus dengan data-data absensi Bu? Mengapa tidak kenerja? Mangapa ketika saya datang di hari Sabtu atau pulang lebih sore tidak menjadi catatan kantor?"
Begitulah kira-kira kalimat penawar yang di usung para pasukan terlambat masuk kerja itu. Dan setiap para pelaku diingatkan, sedikit dari mereka yang langsung menyadari apa yang salah dari keterlambatannya datang ke sekolah atau kantor. Sebagian besar justru langsung mengeluarkan jurus mengelak dan ngeyel.
Pendapat Saya
"Apa komentar Pak Agus atas fenomena itu? Bagaimana seharusnya kita sebagai atasanya memposisikan diri? Apakah kita harus mentolir atas keterlambatannya?" Demikian kata-kata teman saya kepada saya setelah mereka curhat. Saya diam saya untuk sementara hingga teman saya itu benar-benar selesai apa yang ingin diungkapkannya.
Dan setelah semua selesai, saya sampaikan tentang terlambat itu dengan pengalaman saya sendiri sebagai pegawai di sebuah kantor. Artinya, saya menjawab dari kacamata saya sebagai pegawai yang insyaf. Begitulah kira-kira.
Pertama; Saya tahu saya akan terlambat sampai sekolah ketika saya mulai keluar pintu rumah saya. Kok begitu? Tapi memang demikianlah adanya yang saya alami sehari-hari sebelum saya sadar dan kemudian insyaf bahwa saya adalah karyawan sebagai pegawai. Ketika kaki saya melangkah keluar pintu rumah, dan itu sudah menunjukkan pukul 06.20, maka hati saya berdegup. Karena dengan demikian saya harus mendapatkan bus segera begitu saya sampai halte. Juga ketika sampai terminal Blok M, saya harus langsung mendapat Metro Mini trayek 610 dan tidak pakai ngetem di perempatan Panglima Polim, Blok M. Jika persyaratan semua itu tidak terpenuhi, pasti terlambat sampai kantor saya yang ada di Cilandak. Berbeda jika saya berangkat dari rumah benar-benar pukul 06.00 teng!
Dari sini, saya mendapat pelajaran untuk menggunakan Matematika hitung mundur. Jika saya baru sadar akan berangkat kerja 30 menit sebelum keberangkatan, maka persiapan yang bisa saya lakukan adalah persiapan serba kilat. Cepat. Dan jika sebagai suami, realitas ini akan menjadi sumber konflik jika gaya serba kilat ini berdurasi lama.
Kedua; Sejauh yang saya ketahui, tidak ada satu kantorpun yang mentolerir pegawainya terlambat sampai di kantor. Ini memang nyata terjadi. Sampai sekarang, sebagai guru, saya belum menemukan jika gurunya boleh datang terlambat sampai sekolah atau bahkan sampai di kelas untuk mengajar. Kalau ada yang mengetahui akan informasi tersebut, saya minta nomor kontaknya. Siapa tahu saya masih diterima untuk mengirimkan lamarannya. Memang ada kantor yang menghitung keterlambatan dengan uang tambahan semacam uang transpor. Tetapi bukankah itu bentuk betapa tidak ditolerirnya karyawan datang terlambat?
Ketiga; Untuk sebuah sekolah, guru on time dan full time, adalah bentuk marketing yang nyata! Disebuah sekolah swasta yang saya kenal, para petingginya sekarang sedang disibukkan oleh masalah kekurangan siswanya. Maka, ada usulan bagus datang dari salah satu mereka agar sekolah menyewa tenaga marketing profesional sebagai upaya mendongkrak jumlah siswa.
Usulan yang bagus. Tetapi dari informasi yang lain, saya mendapatkan bahwa kepala sekolah masih dipusingkan dengan jam kosong di kelas. Dan setelah diselidiki siapa guru yang seharusnya ada, masalahnya ternyata berada di keterlambatan guru datang ke kelas. Gurunya asyik berdiskusi dengan sejawatnya karena sedang menjadi 'pengamat' di ruang guru.
Bagaimana jika seluruh guru yang ada tahu, sadar, dan kompak masuk kelas tepat waktu dengan dengan penuh waktu keberadaannya di dalam kelas? Bukankah itu jurus jualan yang paling dasar?
Keempat; Sampai kantor secara on time dan bekerja secara full time, adalah pintu gerbang sukses sebagai pegawai! Menurut saya inilah kunci seseorang akan mendaptkan kepercayaan lebih tinggi dari lembaganya. Hampir mustahil sebiah amanah jatuh kepada personal yang telatan. Saya hanya percaya bahwa amanah selalu jatuh pada sosok yang paling layak menjadi teladan di ruang kerjanya. Bukan mereka yang suka telatan. Pasti!
Lalu? Kalau masuk kerja saja masih sering terlambat, masak mengharap kesempatan maju yang banyak lagi dari karyanya?
Jakarta, 9.06.2014.