Saya bersyukur bahwa pada saat saya berada di kampung halaman di akhir tahun 2013 lalu, saya benar-benar berada di rumah orangtua saya yang ada di desa di Purworejo tidak kurag dari 2 X 24 jam. Ini benar-benar sebuah anugerah bagi saya. Mengingat selama ini ketika ke kampung halaman, keberadaan saya selalu entah dimana. Karena kampung halaman hanya saya jadikan sebagai lokasi transit. Jangankan untuk berlama-lama silaturahim dengan tetangga kami, untuk menikmati matahari siang hingga sore dengan hebusn angin khas pesisiran pun, hampir saya tidak memiliki kesempatan.
Oleh karenanya, tidak salah jika dua hari di kampung kemarin itu, saya seperni menikmati situasi desa dengan semaksimalnya. Sejak pagi hingga bertemu pagi lagi. Sebuah kesempatan yang memungkinkn saya untuk memandang dan mengngkapkan kekaguman dan kenangan atas semua yang ada di setiap sisi yang ada di kampung saya. Tentang pohon-pohon yang telah usai berbuah. Tentang biji-bijian yag bersahil dikumpulkan oleh saudara untuk saya bawa ke Jakarta dan menjadi buah tangan untuk teman-teman yang senang pada tanaman untuk ditanam di halaman rumahnya atau dalam pot. Juga tentang pasir kasar yang ada di sepanjang sungai kecil atau sungai Bogowonto yang menjadi lanskap tambahan desa saya.
Juga tentang berbagai suara binantang yang tersisa. Seperti bunyi serangga kecil dengan suaranya yang nyaring, yang kami sering menyebutnya dengan sebutan garengpung. Entah apa nama sebenarnya atau nama nasionalnya dari serangga yang selalu keras berbunyi di batang-batang pohon pada ketinggian tertentu. Atau suara burung emprit, burung prenjak, burung gemak atau burung puyuh. Dan juga burung hantu ketika senja sudah menyelimuti kampung.
Sebuah kampung yang menjadi begitu sunyi ketika tupai pun sudah amat sangat jarang ditemui sedang melompat dari pohon yang satu ke pohon yang lain. Khususnya tupai yang berbulu coklat tua dengan ukuran badan yang lebih besar.
Juga suara-suara burung-burung kicau yang benar-benar telah hilang dari desa saya. Seperti burung tuwu yang berbunyi di atas dahan pohon yang tinggi, atau burung kutilang yang bersiul dengan cara berduyun-duyun berterbangan. Juga burung tekukur. Apalagi burung-burung yang terbilang mewah seperti burung perkutut, ayam hutan, atau burung kacer.
Mereka secara berangsur telah hilang di desa saya.
"Mereka telah ditangkap oleh orang yang membutuhkan untuk mencari nafkah." Jelas saudara-saudara saya yang tinggal di kampung.
"Bahkan tokek dan burung prenjak pun di buru setiap malamnya." Jelas sudara saya lagi.
Kenyataan tersebut, membersitkan rasa kegundahan akan hilangnya 'citarasa' desa di kemudian hari. Karena desa sudah tidak lagi identik dengan suara burung. Karena suara burung telah berganti ke sangkar-sangkar yang berada di rumah-rumah orang tertentu, dan juga tentunya di pasar-pasar burung ebelum mereka di beli olah pecinta.
Padahal sebagai pecinta, tidak semestinya kan mengurung? Sebagaimana yang diungkapkan oleh gubernur Jawa Tengah tentang hewan peliharaannya yang harus dilepas bebas atau diserahkan kepada yang seharusnya merawat mereka...
Jakarta, 2 Januari 2014.
No comments:
Post a Comment