Apa yang membedakan antara Pak K dengan Pak B yang kebetulan dua-duanya adalah pegawai yang ada di satu lembaga? Untuk Anda yang mengenal keduanya, mungkin akan segera terbayang dua sosok pegawai satu kantor yang berbeda profesi kerjanya, namun berada di kantor yang sama. Dengan bayangan itu, segera akan menemukan keberbedaannya.
Dalam catatan ini, saya pribadi menjadikan kedua sosok itu sebagai bagian dari pelajaran hidup. Yang antara lain adalah pelajaran tentang bagaimana merefleksikan dan memaknai anugerah dan rizki yang kita dapatkan. Jadi, tentang cara mensyukuri apa yang diterima. Setidaknya syukur dalam hal ucapan. Itulah yang saya lihat dan dengar dalam persahabatan dengan dua sosok itu.
Dalam sebuah peremuan dengan saya, beberapa waktu lampau, Pak K berujar; "Apa yang saya dapatkan dari kantor ini Pak. Dari dulu ya gini-gini saja. Tidak ada perubahan menarik. Untuk saya ikut mejadi anggota koperasi karyawan. Coba kalau tidak. Bisa miskin saya."
Dalam sebuah peremuan dengan saya, beberapa waktu lampau, Pak K berujar; "Apa yang saya dapatkan dari kantor ini Pak. Dari dulu ya gini-gini saja. Tidak ada perubahan menarik. Untuk saya ikut mejadi anggota koperasi karyawan. Coba kalau tidak. Bisa miskin saya."
Sdang dengan Pak B, saat pertemuan dengan saya beberapa waktu yang lalu, juga berujar, atau bahkan memohon agar namanya tetap dimasukkan dalam staf sekolah. Mengapa? "Iya Pak Agus, alhamdulillah saya mendapatkan rezki keluarga salah satunya dari keikutsertaan saya berada dalam sekolah ini. Jadi saya mohon Pak, meski saya statusnya hanyalah honorer, tetapi jangan dihapus ya Pak."
Beda Cara Pandang
Terhadap dua teman saya di atas yang mengungkpkan kalimat yang berbeda, saya kagum dengan apa yang disampakain oleh Pak B. Dan kepadanyalah saya berguru tentang bagaimana logika rasa syukur itu.
Lebih dahsyat lagi, bahwa saya menemukan tidak ada signifikansinya antara dua pilihan kata dan kalimat dari dua model pengungkapan di atas dengan latar belakag pendidikan keduanya. Karena Pak K baru saja mendapat gelar Megister, sedang Pak B hanyalah lulusan PGA, Pendidikan Guru Agama!
Kemuadian, apa lagi? Dari peristiwa kecil itu, saya mencoba benang merah yang membedakan dua sosok sahabat saya itu. Yaitu, bahwa jenjang pendidikan, tidak selalu linier dengan pola pikir atau cara pendang terhadap kebersyukuran. Pak B yang pendidikannya belum sarjana, saya justru melihat bagaimana logika berpikirnya jalan. Berbeda bukan dengan kalimat yang disampaikan oleh Pak K?
Mungkin itu sekelumit pelajaran yang dapat saya petik dari dua sosok tersebut.
Jakarta, 17 Juli 2013.
No comments:
Post a Comment