Senin, 15 April 2013, adalah hari pertama hajanan nasional dunia pendidikan Indonesia yang kita sebut dengan Ujian Nasional atau UN SMA/sederajat. Ada berbagai isu menarik yang berada di seputar pelaksanaan Ujian Nasional tahun ini. Misalnya, ada beberapa siswa/siswi di tingkat SMA, yang mendapat surat 'dikeluarkan' dari sekolah oleh kepala sekolahnya karena kasus menikah. Juga tentunya masih seputar memperkecil kemungkinan masih akan adanya kebocoran terhadap soal ujian tersebut.
Gagal Moral
Untuk kasus yang pertama, beberapa hari menjelang pelaksanaan UN banyak menjadi polemik. Mengingat apa yang telah diputuskan oleh para kepala sekolah terhadap anak-anak yang telah menikah tersebut harus berhadapan dengan surat dari Pak Mentri Pendidikan dan Kebudayaan, M Nuh, yang membolehkan anak-anak dengan kasus tersebut untuk mengikuti UN yang akan digelar mulai tanggal 15 April tersebut.
Sementara anak-anak yang telah mendapat surat keluar dari kepala sekolahnya, juga tidak tinggal diam. Mereka mendatangi Komite Nasional yang melindungi hak-hak mereka untuk memperjuangkan agar mereka dapat mengikuti kegiatan nasional tersebut. Dan itulah yang terjadi. Dukungan terhadap anak-anak yang telah menikah atau bahkan telah hamil tersebut untuk terus ikut serta dalam UN, dan juga dukungan atas apa yang telah dibuat oleh kepala sekolah untuk tidak mengizinkan anak-anak tersebut ikut serta dalam UN di sekolahnya.
Seperti apa yang disampaikan dengan lantang oleh seorang anggota DPR RI, di sebuah stasiun TV swasta, pada Rabu, 10 April 2013, dalam sebuah dialog. Bahwa ia setuju dengan apa yang telah diputuskan oleh kepala sekolah dengan mengeluarkan anak-anak tersebut. Karena, menurutnya, anak-anak dengan kasus menikah di usia sekolah tingkat SMA, secara moral telah gagal. Logika ini bersinergi dengan apa yang menjadi anutan dalam pendidikan formal kita bahwa hasil pendidikan siswa terdapat tiga ranah. Yaitu ranah kognitif, yang diujikan secara nasional dalam bentuk Ujian Nasiona, ranah afektif, dan ranah psikomotorik.
Oleh karenanya, jika sekolah memberikan izin kepada anak-anak tersebut untuk mengikuti Ujian Nasional hanya karena melihat dari sisi hak anak, maka sesungguhnya sekolah memang hanya melihat bahwa hasil pendidikan hanya pada ranah kognitif.
Mengapa gagal moral? Ini karena asumsi dari mereka yang menyetujui oleh apa yang diputuskan oleh kepala sekolah bahwa, anak-anak yang sudah menikah pada saat sedang menempuh belajar di bangku SMA tersebut, diduga merupakan efek dari sebuah pilihan dalam bergaul.
Allahua'lam.
Namun dari kacamata sebagai pelaku pendidikan formal, saya sungguh masih membaca bahwa untuk memahamkan kepada masyarakat tentang hasil pendidikan yang tidak hanya kognitif, masih perlu sebuah perjuangan yang panjang. Karena jika kita benar hanya ingin menghasilkan kognitif yang bagus sebagai hasil dari proses pendidikan formal di sekolah, maka cukuplah bagi semua guru hanya sebagai pengajar!
Jakarta, 11 April 2013.
No comments:
Post a Comment