Suasana stand pameran sebelum 'basar' dimulai. |
Awal April
ini, kami di sekolah belajar tentang sedekah. Tema yang kami usung
adalah care and share. Pada tema ini anak-anak di sekolah akan melakukan
berbagai usaha yang pada akhirnya dapat menerbitkan rasa kepeduliannya
untuk secara ikhlas berkontribusi kepada lingkungan disekitarnya, yang membutuhkan
kontribusinya. Kegiatan yang berlangsung secara serentak di sekolah kami
itu berdurasi satu pekan saja. Konsep belajar seperti ini seolah-olah keluar dari rutinitas kurikulum yang ada, meski sesungguhnya semua kegiatan yang kami lakukan tersebut selalu dalam ranah belajar.
Dalam satu pekan spesial itu, teman-teman guru merancang berbagai kegiatan yang berbeda-beda untuk setiap kelas yang ada dari tingkat Kelompok Bermain (KB) hingga tingkat pendidikan SMP, untuk sebuah keberhasilan proyek mereka masing-masing. Namun secara garis besar, bila siswa akan berkontribusi dalam bentuk donasi uang kepada lingkungan yang mereka pilih masing-masing, maka uang yang mereka donasikan tersebut atau mereka sedekahkan, adalah uang atau juga barang yang merupakan dari hasil usaha mereka sendiri. Jadi bukan uang yang didapat secara cuma-cuma dari orangtua mereka masing-masing, bukan juga uang jajan yang menjadi jatahnya dari orangtua yang mereka sengaja sisihkan.
Lalu bagaimana anak-anak itu memiliki uang sendiri untuk kemudian mampu memberikan sedekah? Inilah yang saya lihat. Misalnya untuk Siswa yang duduk di kelas TK B.
Dalam dua foto tersebut, tergambar bagaimana kelas TK B, membuat karya seni yang mereka telah lakukan sepekan sebelum pekan spesial tersebut berlangsung. Barang seni tersebut antara lain adalah foto diri anak-anak dengan bingkainnya, topi dngan nuansa seni, tas belanja, dan lain sebagainya. Tujuan dari produk karya seni tersebut adalah basar sekolah, dimana market pembelinya adalah para orangtua anak-anak sendiri.
Dalam satu pekan spesial itu, teman-teman guru merancang berbagai kegiatan yang berbeda-beda untuk setiap kelas yang ada dari tingkat Kelompok Bermain (KB) hingga tingkat pendidikan SMP, untuk sebuah keberhasilan proyek mereka masing-masing. Namun secara garis besar, bila siswa akan berkontribusi dalam bentuk donasi uang kepada lingkungan yang mereka pilih masing-masing, maka uang yang mereka donasikan tersebut atau mereka sedekahkan, adalah uang atau juga barang yang merupakan dari hasil usaha mereka sendiri. Jadi bukan uang yang didapat secara cuma-cuma dari orangtua mereka masing-masing, bukan juga uang jajan yang menjadi jatahnya dari orangtua yang mereka sengaja sisihkan.
Lalu bagaimana anak-anak itu memiliki uang sendiri untuk kemudian mampu memberikan sedekah? Inilah yang saya lihat. Misalnya untuk Siswa yang duduk di kelas TK B.
Suasana stand setelah 'basar' dimulai dalam blur. |
Kegiatan basar dibuat bersamaan dengan kegiatan 'panggung' anak-anak, atau kami sering menyebut dengan istilah assembly, agar semua semua orangtua dapat menyisihkan waktunya untuk melihat penampilan anak-anaknya. Nah pada saat itu pula 'basar' diselenggarakan.
Maka dapat kita duga, bahwa barang seni produk anak-anak itu akan benar-benar ludes diborong oleh para pembeli yang adalah para orangtua anak-anak masing-masing. Dan hasil penjulan itulah yang menjadi sumber utama dari donasi anak-anak kepada sebuah lembaga pendidikan gratis yang dikelola oleh Rumah Zakat.
Lalu apa yang anak-anak itu dapatkan selama mereka melaksanakan kegiatan di pekan spesial yang kami rancang tersebut? Kami berharap agar anak-anak dapat belajar ikhlas terhadap hasil kerja kerasnya. Lalu bagi orantua? Kami ingin mengajak para orangtua melihat langsung sebuah lembaga pendidikan gratis yang boleh jadi nanti menginspirasinya sebagai lokasi sedekah. Semoga.
Jakarta-Kebumen-Jakarta, 20-21 April 2013.
No comments:
Post a Comment