Ada kesadaran baru lagi yang tiba-tiba muncul pada diri saya terhadap apa yang pernah saya dengar dari seorang teman seprofesi yang sehari-hari menjadi pendidik di wilayah Sumatera pada awal tahun ini. Hal ini yang berkaitan dengan kinerja guru. Dimana teman saya membuat pernyataan bahwa ada atau terdapat korelasi yang signifikan antara pendidik yang 'bermasalah' terhadap kinerjanya di sekolah dengan pola ketidakhadiran si pendidik tersebut pada kegiatan 'pembinaan' yang dilakukan oleh lembaga.
Kesadaran ini lahir dalam ingatan saya, ketika dalam sebuah sesi pelatihan saya bertemu dengan beberapa teman yang kebetulan ikut pelatihan dengan sangat tidak menampakkan minatnya untuk menimba ilmu. Datang terlambat ke lokasi pelatihan, sesampai di ruang tempat pelatihan sibuk dengan makanan kecil yang tersedia di bagian belakang ruang pelatihan,tidak berhenti berbincang dengan teman yang duduk di sebelah dalam ruang pelatihan. Sangat menggemaskan. Itulah sebagian dari guru yang ikut pelatihan tapi saya meyakini fisiknya saja yang hadir dalam pelatihan tersebut. Dan bukan semangat serta jiwanya.Dan itulah indikator-indikator guru-guru yang belum tumbuh sikap dan semangat pembelajarnya. Guru-guru yang masih rentan terserang virus 'bermasalah'.
Kesadaran ini lahir dalam ingatan saya, ketika dalam sebuah sesi pelatihan saya bertemu dengan beberapa teman yang kebetulan ikut pelatihan dengan sangat tidak menampakkan minatnya untuk menimba ilmu. Datang terlambat ke lokasi pelatihan, sesampai di ruang tempat pelatihan sibuk dengan makanan kecil yang tersedia di bagian belakang ruang pelatihan,tidak berhenti berbincang dengan teman yang duduk di sebelah dalam ruang pelatihan. Sangat menggemaskan. Itulah sebagian dari guru yang ikut pelatihan tapi saya meyakini fisiknya saja yang hadir dalam pelatihan tersebut. Dan bukan semangat serta jiwanya.Dan itulah indikator-indikator guru-guru yang belum tumbuh sikap dan semangat pembelajarnya. Guru-guru yang masih rentan terserang virus 'bermasalah'.
Itulah hal yang akan menjadi isu dari tulisan saya kali ini berkenaan dengan kinerja teman-teman kita sebagai pendidik di sekolah. Tentunya ini menyangkut apa yang saya tulis pada alinea di atas. Bahwa apa yang disampaikan teman dalam kaitan atau korelasi kehadiran guru dalam sebuah pembinaan rutin lembaga dengan unjuk kerjanya.
Misalnya, begitu kisah teman saya di Sumatera tersebut, teman-temannya yang berkinerja buruk, seperti mereka yang kurang mempertahankan komitmen untuk datang lebih awal dari jam masuk siswa, adalah mereka-mereka yang ketika kegiatan professional development (PD), atau pelatihan dalam istilah saya, di lembaganya sering bolong atau tidak hadir, atau kalaupun hadir maka fisiknya yang datang dan belum jiwa pembelajarnya. Tentu dengan berbagai ragam izin dan keperluan yang disampaikan jika mereka tidak datang untuk ikut PD atau pelatihan yang diselenggarakan oleh sekolah. Meski kepada teman-teman yang memiliki etos kerja semacam itu akan tidak mendapatkan tambahan pendapatan sebagaimana policy lembaga.
Kelancaran Komunikasi dan Bermasalah
Mengapa masih saya temukan sebagian guru-guru yang relatif 'bermasalah' dalam berkinerja baik di sekolah? Maka dari apa yang saya utarakan tersebut, saya berasumsi bahwa hal itu merupakan akibat dari sedikitnya arus komunikasi antara apa yang menjadi tuntutan lembaga dengan apa yang dipersepsikan oleh sebagian guru tersebut. Dan arus kemunikasi itu bukan terletak kepada ada atau tidaknya jaringan komunikasinya dibuat, tetapi juga daya serap sebagian guru tersebut terhadap apa yang pernah dialaminya atau apa yang pernah diikutinya.
Sebagaimana dikemukakan, bahwa bentuk-bentuk komunikasi telah lembaga lakukan misalnya dalam bentuk pembinaan, pelatihan, rapat rutin, dan sebagainya, tetapi kejadian itu belum diikuti dengan sepenuh hati. Maka dapat dipastikan jika visi berkarya sebagian guru itu belum merupakan bagian integral dari visi kerja lembaganya.
Jalan Keluar?
Lalu adakah jalan keluar untuk menuju kebaikan bagi jenis pendidik seperti yang saya kemukakan tersebut bagi sekolah yang semestinya menjadi komunitas pembelajar? Bagi kami yang berada di sekolah yang dikelola lembaga swasta, maka jalan keluar sesulit dan serumit apapun harus diupayakan untuk dicari dan dibuat. Bagi saya, upaya yang pertama saya sering lakukan adalah mengajak teman-teman yang berkopenten atas masalah-masalah tersebut berdiskusi dan menemukan solusi. Langkah ini selain kita mengacu kepada peraturan atau tata kelola kepegawaian. Karena dengan diskusi, kami biasanya akan menemukan pemecahan masalah dengan strategi penerapan yang egaliter. Sekali lagi, bahwa goal dari kebaikan itu bagi guru dan pendidik di sekolah adalah menjadikan sekolah sebagai komunitas pembelajaran tidak saja bagi siswanya, tetapi yang paling utama dan pertama adalah justru bagi guru dan pendidiknya.
Mengapa masih saya temukan sebagian guru-guru yang relatif 'bermasalah' dalam berkinerja baik di sekolah? Maka dari apa yang saya utarakan tersebut, saya berasumsi bahwa hal itu merupakan akibat dari sedikitnya arus komunikasi antara apa yang menjadi tuntutan lembaga dengan apa yang dipersepsikan oleh sebagian guru tersebut. Dan arus kemunikasi itu bukan terletak kepada ada atau tidaknya jaringan komunikasinya dibuat, tetapi juga daya serap sebagian guru tersebut terhadap apa yang pernah dialaminya atau apa yang pernah diikutinya.
Sebagaimana dikemukakan, bahwa bentuk-bentuk komunikasi telah lembaga lakukan misalnya dalam bentuk pembinaan, pelatihan, rapat rutin, dan sebagainya, tetapi kejadian itu belum diikuti dengan sepenuh hati. Maka dapat dipastikan jika visi berkarya sebagian guru itu belum merupakan bagian integral dari visi kerja lembaganya.
Jalan Keluar?
Lalu adakah jalan keluar untuk menuju kebaikan bagi jenis pendidik seperti yang saya kemukakan tersebut bagi sekolah yang semestinya menjadi komunitas pembelajar? Bagi kami yang berada di sekolah yang dikelola lembaga swasta, maka jalan keluar sesulit dan serumit apapun harus diupayakan untuk dicari dan dibuat. Bagi saya, upaya yang pertama saya sering lakukan adalah mengajak teman-teman yang berkopenten atas masalah-masalah tersebut berdiskusi dan menemukan solusi. Langkah ini selain kita mengacu kepada peraturan atau tata kelola kepegawaian. Karena dengan diskusi, kami biasanya akan menemukan pemecahan masalah dengan strategi penerapan yang egaliter. Sekali lagi, bahwa goal dari kebaikan itu bagi guru dan pendidik di sekolah adalah menjadikan sekolah sebagai komunitas pembelajaran tidak saja bagi siswanya, tetapi yang paling utama dan pertama adalah justru bagi guru dan pendidiknya.
Jakarta, 25-30 Juni 2012.
No comments:
Post a Comment