Ini pengalaman saya untuk yang kesekian kali dalam tahun ini, pada saat melakukan rekrutmen calon guru di sebuah lembaga pendidikan formal di Jakarta. Pengalaman yang sejak memulai dan bertemu serta bertatap muka dengan para calon itu, tidak semua memberikan gambaran yang cukup menggembirakan. Padahal di atas kerta lamaran yang mereka masing-masing buat, telah terseleksi secara akademis-administratif bagus.
Namun pada waktu bertemu dan bertatap muka dalam sesi wawancara menjelang akhir rekrutmen sebelum kami mengambil keputusan untuk menerima atau tidaknya mereka menjadi bagian dari kami, kami dihadapkan kepada kenyataan bahwa nilai indeks prestasi akademik atau IPK yang tinggi, diantaranya kami menemukan beberapa dari mereka dengan IPK 3 plus, namun sangat sulit dan cenderung tidak menarik ketika kami mengemukakan sebuah topik untuk bahan diskusi.
Mereka diantaranya tidak menguasai masalah kekinian dalam bidang pendidikan. Pada proses rekrutmen terdahulu kami mencoba mengajak mereka berdiskusi tentang bullying dan mereka justru balik bertanya kepada saya; bullying itu apa Pak? Dan kali ini, saya mengajak mereka berdiskusi tentang bagaimana kecerdasan berganda kita aplikasikan kedalam proses pembelajaran di kelas, mereka tetap mengemukakan pendapat dengan penuh keyakinan akan pendapatnya. Padahal mereka sama sekali tidak paham apa itu kecerdasan berganda!
Menyedihkan bukan? Karena dalam pandangan kami, mereka yang kami rekrut adalah mereka adalah para calon guru yang berasal dari para lulusan institusi keguruan yang menyelesaikan pendidikannya rekatif baru.
Kami, saya dan teman, akhirnya membuat asumsi bahwa para kandidat itu, yang terdiri dari para sarjana pendidikan tersebut, sangat miskin kemampuan membaca buku. Para sarjana yang menjalani wawancara dengan kami itu, adalah anak-anak muda yang hanya pintar di pelajaran kuliahnya tetapi mengisolirkan diri dengan dunia dimana ia berada. IPK tinggi yang didapatnya namun sekaligus tidak mencerminkan pribadi yang berpengetahuan.
Namun pada waktu bertemu dan bertatap muka dalam sesi wawancara menjelang akhir rekrutmen sebelum kami mengambil keputusan untuk menerima atau tidaknya mereka menjadi bagian dari kami, kami dihadapkan kepada kenyataan bahwa nilai indeks prestasi akademik atau IPK yang tinggi, diantaranya kami menemukan beberapa dari mereka dengan IPK 3 plus, namun sangat sulit dan cenderung tidak menarik ketika kami mengemukakan sebuah topik untuk bahan diskusi.
Mereka diantaranya tidak menguasai masalah kekinian dalam bidang pendidikan. Pada proses rekrutmen terdahulu kami mencoba mengajak mereka berdiskusi tentang bullying dan mereka justru balik bertanya kepada saya; bullying itu apa Pak? Dan kali ini, saya mengajak mereka berdiskusi tentang bagaimana kecerdasan berganda kita aplikasikan kedalam proses pembelajaran di kelas, mereka tetap mengemukakan pendapat dengan penuh keyakinan akan pendapatnya. Padahal mereka sama sekali tidak paham apa itu kecerdasan berganda!
Menyedihkan bukan? Karena dalam pandangan kami, mereka yang kami rekrut adalah mereka adalah para calon guru yang berasal dari para lulusan institusi keguruan yang menyelesaikan pendidikannya rekatif baru.
Kami, saya dan teman, akhirnya membuat asumsi bahwa para kandidat itu, yang terdiri dari para sarjana pendidikan tersebut, sangat miskin kemampuan membaca buku. Para sarjana yang menjalani wawancara dengan kami itu, adalah anak-anak muda yang hanya pintar di pelajaran kuliahnya tetapi mengisolirkan diri dengan dunia dimana ia berada. IPK tinggi yang didapatnya namun sekaligus tidak mencerminkan pribadi yang berpengetahuan.
Jakarta, 30 Juni 2012.
No comments:
Post a Comment