Pertama sekali saya menemukan judul berita di Kompas, Jumat, 25 Maret 2011 di halte bus transjakarta Slipi Palmerah pagi itu saya kaget. Judul beritanya itulah yang bikin saya kaget. PEMDA, Bangkrut akibat Birokrasi Gemuk. Sebuah berita yang sesungguhnya tidak sampai pada nalar saya. Pemerintah Daerah bisa bangkrut? Sebuah logika yang sulit di terima akal. Di Indonesia?
Apa hendak dikata, karena itulah judul berita yang ditulis di koran nasional. Sulit juga bagi saya untuk tidak mempercayainya.
Namun diantara raga kaget itu, justru muncul berbagai pertanyaan sebelum saya memulai membaca artikel beritanya. Dan kekagetan itu semakin menumbuhkan pertanyaan yang mendorong rasa ingin tahu saya untuk segera membacanya secara tuntas. Seperti diketahui, Provinsi NAD saat ini memiliki 18 kabupaten dan 5 kota... Hampir semua kabupaten dan kota di Aceh ini mengalami kebangkrutan anggaran. Sejumlah daerah, seperti Langsa, Bireun, dan Aceh Utara, bahkan terjerat hutang dengan pihak ketiga dan perbankan guna menutup anggaran hingga miliaran rupiah. Sebagian lain tak mampu membayar gaji para pegawai... (Kompas, 25 Maret 2011).
PEMDA Bangkrut?
Itulh berita yang menarik bagi saya hari itu. Sebuah pemerintahan yang harus terlilit hutang karena pendapatan dan pengeluaran yang tidak sebanding. Saya kembali mengajukan pertanyaan dalam benak, bagaiaman pula pemerintahan ini membentuk pemerintahan baru dalam bentuk kebijakan pemekaran bila visibilatasnya memang memungkinkan bangkrut? Atau, bagaimana orang yang berwewenang di daerah tersebut harus membuat kebijakan pegawai dan kebijakan penggajiannya bila memang tidak tersedia uang di kantongnya?
Pendek kata, sulit saya membuat kesimpulan dari berita yang saya baca pagi itu. Dan oleh karenanya, saya tidak mungkin dapat membuat konklusi dari sebuah berita di koran tersebut. Meski menyampaikan fakta dan data yang sahih dan dapat dipercaya kebenarannya. Karena sangat mungkin apa yang terdapat dilapangan ada nuansa yang berbeda. Itulah sebabnya saya mengambil fakta dari korang ini untuk merefleksi pada kehidupan kita yang lebih riil. Yaitu saya dan keluarga. Atau Anda dan keluarga Anda.
Keluarga Bangkrut?
Bagaimana juga dengan kita yang hidup dalam ranah sosial paling kecil di masyarakat, yaitu di dalam keluarga? Saya, Anda, Kami, dan Kita, yang juga menjadi bagian dari sebuah institusi masyarakat dapat pula menjadi bangkrut secara ekonomi sebagaimana yang dimuat dalam koran Kompas itu. Itu tidak lain karena antara pendapatan yang harusnya menjadi bahan dasar untuk dikelola tidak sebanding dengan pengeluaran yang terjadi, sehingga menghasilkan selisih negatif. Sehingga menyebabkan anggaran yang selalu kurang. Mengapa kurang? Yang pasti sebagaimana peribahasa yang kita punya; Besar pasak dari pada tiang. Besar pengeluaran daripada pendapatannya. Mengapa pasaknya besar? Salah satunya karena gaya hidup.
Dari sinilah saya ingin sekali menyampaikan agar kiranya kita dapat mengekang birahi terhadap pola dan gaya hidup yang memang belum atau bahkan tidak pantas menjadi bagian dalam dirti kita. Karena sesungguhnya, penghargaan orang lain kepada kita bukan pada gaya hidup atau image yang kita ingin pancarkan melalui sesuatu yang sebenarnya kurang patut kita punyai. Tetapi dari keseluruhan diri dan keluarga kita. Semoga. Amin.
Jakarta, 25-26 Maret 2011.
Jakarta, 25-26 Maret 2011.
No comments:
Post a Comment