Kawan saya di Facebook, yang tinggal di Purworejo, Jawa Tengah, suatu saat menulis satu paragraf tentang apa yang guru ajarkan di sekolah di dindingnya. Tulisan itu adalah: ... yang terjadi adalah guru mengajarkan apa yang ia tahu. padahal menurut kurikulum yang dibuatnya, guru itu mestinya mengajarkan apa yang siswa butuhkan. Meski saya tudak mengomentari, namun tidak urung juga bahwa tulisannya itu mengusik pikiran saya sebagai pendidik.
Apa yang ditulisnya itu, keseluruhannya saya setuju dan sepakat bulat. Benar. bahwa itulah seyogianya apa yang menjadi dasar bagi interaksi guru-siswa di sekolah. Karena menurut saya, siswa dan guru hidup dalam alam yang berbeda. Dan kerena berbeda, maka tuntutan lingkungan terhadap guru sekarang ini dan terhadap siswa kelak dikemudian hari tidaklah sama. Guru berada pada masa sekarang ini dituntut oleh beberapa hal yang benar-benar tampak. Sedang siswa yang berada di masa yang akan datang, akan dituntut beberapa hal yang belum napak. Bekum diketahui seperti apa dan bagaimana?
Dengan fakta itu, maka yang diperlukan siswa untuk dipelajari dan dikuasai adalah keterampilan untuk bertahan dan berkompetisi di masanya nanti. Seperti apa masa nanti itu? Jika kita telah memiliki prediksi tentang hal itu, maka langkah berikut adalah membuat beberapa hal yang perlu dan harus menjadi kepandaian dan keterampilan hidup siswa. Namun, begitukah apa yang terjadi di dalam interaksi guru-siswa di dalam kelas di sekolah-sekolah kita pada detik ini? Bagaimana? Mengapa?
Guru dan Siswa
Di dalam kelas di sekolah-sekolah kita hari ini, guru membelajararkan target kurikulum pada aspek kognitif yang bernama ketuntasan belajar. Aspek ini terimplementasi dalam bentuk serangkaian materi atau bahan ajar. Bahan ajar ini di kelas akhir pada jenjang pendidikan Sekolah Dasar hingga SMA dikerucutkan dalam keputusan menteri dalam istilah Standar Kompetensi Lulusan atau SKL atau kisi-kisi.
Itulah panduan konkrit tentang apa yang harus 'diselesaikan' oleh guru dalam interaksi pembelajarannya dengan siswa di kelas. Dan tolak ukur atas kineja dari interaksi itu adalah angka kelulusan siswanya. Melihat itu, maka apa yang seharusnya atau apa yang dibutuhkan oleh siswanya adalah SKL.
Bagaimana dengan keterampilan hidup yang seharusnya diberikan siswa sebagaimana yang ditulis kawan saya itu? Jika mengacu kepada apa yang harus diberikan guru dengan melihat ketentuan di atas, disimpulkan bahwa apa yang dilakukan guru telah tuntas. Tidak ada yang perlu dipertanyakan lagi.
Bagaiaman juga dengan tulisan kawan saya di dinding fb-nya itu? Menurut saya juga benar. Tulisan itu berada pada tataran ide atau taran paradigma yang semestinya terjadi. Sedang guru berkewajiban membelajarkan apa yang termuat secara legal formal, yang dilaksanakannya, yang adalah benar adanya.
Jadi apa langkah kita untuk mempertemukan apa yang seharusnya dengan apa yang dituntut secara formal? Menurut saya, adalah bagaimana kita dapat menjadikan keterampilan hidup itu sebagai bagian dari hasil belajar lulusan. Dan juga meyakini bahwa, hasil ketuntasan siswa tethadap SKL yang akhirnya dalam bentuk hasil ujian, hanyalah salah satu dan bukan satu-satunya hasil belajar.
Dengan berpegang kepada paradigma inilah maka dalam seluruh interaksi guru-siswa harus terjadi pemindahan keterampilan hidup dan keterampilan kognitif secara berkesinambungan dan pararel. Konsep ini hanya dapat dan mungkin terjadi bilamana proses pembelajaran menjadi bagian penting yang harus dirancang oleh guru dalam proses interaksi tersebut.
Namun bagaimana bila proses dalam interaksi guru-siswa di sekolah kita masih belum menjadi bagian yang dianggap penting? Pendapat saya adalah: itulah esensi di balik jawaban terhadap apa yang disampaikan kawan saya di dinding facebook-nya.
Jakarta, 27 Maret 2011.
Apa yang ditulisnya itu, keseluruhannya saya setuju dan sepakat bulat. Benar. bahwa itulah seyogianya apa yang menjadi dasar bagi interaksi guru-siswa di sekolah. Karena menurut saya, siswa dan guru hidup dalam alam yang berbeda. Dan kerena berbeda, maka tuntutan lingkungan terhadap guru sekarang ini dan terhadap siswa kelak dikemudian hari tidaklah sama. Guru berada pada masa sekarang ini dituntut oleh beberapa hal yang benar-benar tampak. Sedang siswa yang berada di masa yang akan datang, akan dituntut beberapa hal yang belum napak. Bekum diketahui seperti apa dan bagaimana?
Dengan fakta itu, maka yang diperlukan siswa untuk dipelajari dan dikuasai adalah keterampilan untuk bertahan dan berkompetisi di masanya nanti. Seperti apa masa nanti itu? Jika kita telah memiliki prediksi tentang hal itu, maka langkah berikut adalah membuat beberapa hal yang perlu dan harus menjadi kepandaian dan keterampilan hidup siswa. Namun, begitukah apa yang terjadi di dalam interaksi guru-siswa di dalam kelas di sekolah-sekolah kita pada detik ini? Bagaimana? Mengapa?
Guru dan Siswa
Di dalam kelas di sekolah-sekolah kita hari ini, guru membelajararkan target kurikulum pada aspek kognitif yang bernama ketuntasan belajar. Aspek ini terimplementasi dalam bentuk serangkaian materi atau bahan ajar. Bahan ajar ini di kelas akhir pada jenjang pendidikan Sekolah Dasar hingga SMA dikerucutkan dalam keputusan menteri dalam istilah Standar Kompetensi Lulusan atau SKL atau kisi-kisi.
Itulah panduan konkrit tentang apa yang harus 'diselesaikan' oleh guru dalam interaksi pembelajarannya dengan siswa di kelas. Dan tolak ukur atas kineja dari interaksi itu adalah angka kelulusan siswanya. Melihat itu, maka apa yang seharusnya atau apa yang dibutuhkan oleh siswanya adalah SKL.
Bagaimana dengan keterampilan hidup yang seharusnya diberikan siswa sebagaimana yang ditulis kawan saya itu? Jika mengacu kepada apa yang harus diberikan guru dengan melihat ketentuan di atas, disimpulkan bahwa apa yang dilakukan guru telah tuntas. Tidak ada yang perlu dipertanyakan lagi.
Bagaiaman juga dengan tulisan kawan saya di dinding fb-nya itu? Menurut saya juga benar. Tulisan itu berada pada tataran ide atau taran paradigma yang semestinya terjadi. Sedang guru berkewajiban membelajarkan apa yang termuat secara legal formal, yang dilaksanakannya, yang adalah benar adanya.
Jadi apa langkah kita untuk mempertemukan apa yang seharusnya dengan apa yang dituntut secara formal? Menurut saya, adalah bagaimana kita dapat menjadikan keterampilan hidup itu sebagai bagian dari hasil belajar lulusan. Dan juga meyakini bahwa, hasil ketuntasan siswa tethadap SKL yang akhirnya dalam bentuk hasil ujian, hanyalah salah satu dan bukan satu-satunya hasil belajar.
Dengan berpegang kepada paradigma inilah maka dalam seluruh interaksi guru-siswa harus terjadi pemindahan keterampilan hidup dan keterampilan kognitif secara berkesinambungan dan pararel. Konsep ini hanya dapat dan mungkin terjadi bilamana proses pembelajaran menjadi bagian penting yang harus dirancang oleh guru dalam proses interaksi tersebut.
Namun bagaimana bila proses dalam interaksi guru-siswa di sekolah kita masih belum menjadi bagian yang dianggap penting? Pendapat saya adalah: itulah esensi di balik jawaban terhadap apa yang disampaikan kawan saya di dinding facebook-nya.
Jakarta, 27 Maret 2011.
No comments:
Post a Comment