Sabtu tanggal 26 Maret 2011 lalu, bertempat di sebuah Masjid sekolah di bilangan Pasar Minggu, saya diminta teman untuk mengisi kegiatan ceramah tentang remaja di hadapan pengurs komite sekolah menengah. Sebuah pengalaman sedikit unik bagi saya. Mengingat presentasi di hadapan para orangtua saat itu berada di masjid. Selain itu, karena sesungguhnya kegiatan rutin mereka adalah kegiatan taklim bulanan. Jadilah saya didaulat seperti ustad. Berat sekali rasanya. Oleh karenanya jauh-jauh hari saya memberitahukan kepada teman bila apa yang saya sampaikan adalah apa yang saya lihat, saya rasakan, dan saya alami, baik di rumah atau di sekolah, berkenaan dengan kehidupan remaja. Kawan saya setuju. Maka terjadilah kegiatan itu.
Terus terang, sering saya berpikir ulang jika teman ada yang meminta saya untuk menyampaikan sesuatu di luar apa yang saya tidak kuasai, atau apa yang tidak saya alami, atau apa yang saya tidak pernah lakukan. Dan biasanya, saat berpikir ulang tersebut, ada nama yang sepengetahuan saya lebih menguasai apa yang mereka sodorkan kepada saya. Saya tidak ingin ada komentar dari audiens bahwa apa yang saya sampaikan hanyalah apa yang saya dapatkan dari membaca buku. Namun ketika saya hanya mau menyampaikan apa yang pernah saya alami selama ini mendapat persetujuan teman, maka inilah apa yang saya sampaikan.
1. Digital Native
Ini menurut pendapat orang. Bagaimana bentuk konkritnya pada perilaku mereka dalam ranah ini? Mereka benar-benar memiliki fleksibilatas yang tinggi ketika berhadapan dengan dunia teknologi informasi. Kelenturannya yang dahsyat tersebut membuat mereka menikmati dan tenggelam dalam dunia maya. Sebagaian mereka benar-benar mampu mengekang kemahirannya untuk kebaikannya, dan sebagainnya tenggelam dalam menghabiskan waktunya sekedar untuk sosialisasi. Berbeda dengan kita, sedikit kaku ketika harus berhadapan dengan perangkat TI.
Keberadaannya sebagai pribumi dalam dunia TI, membuatnya juga sukses dalam bermain gambar. Maka, blog dan halaman catatan hariannya akan lebih dipenuhi oleh ilustrasi dan visual daripada narasi seperti apa yang kita lakukan.
Fleksibilitas dan kelenturannya dala bidang itulah yang akhirnya saya berpendapat bahwa sesungguhnya mereka adalah generasi yang pintar. Tapi mengapa nilai angka pelajaran mereka tidak menunjukkan itu? Saya punya dua dugaan. Pertama, karena pelajaran bukan menjadi fokus dan minat dia. dan kedua, dari kenyataan pertama itu, sayangnya cara kita memandang pintar hanya dari nilai mata pelajaran di sekolahnya.
2. Puber
Dalam masa pancaroba ini, remaja relatif klop dengan masa ngeyelnya. Kita yang berada di luar mereka akan selalu melihat itu sebagi sebuah fakta. Padahal sesungguhnya, antara mereka dan kita tidak sedang dalam gelombang dan koordinat yang sama. Ketidaksamaan itu bermakna ketidakpatuhan. Yang bersinonim dengan ngeyel. Padahal, ketika kita masih remaja, apa pendapat kita terhadap remaja yang ada dalam pikiran kita sekarang? Kalau meminjam istilah remaja, cupu.
3. Serba Mudah
Yang berlaku pada umumnya, remaja mendapat prioritas perhatian dari para orangtuanya. Siapa yang akan menyangkal bahwa remaja sekarang berada dalam situasi yang menguntungkannya? Saking beruntungnya, bahkan ada diantara orangtua mereka yang berujar: Dulu saya sudah susah, sekarang anak saya jangan sampai susah. Repotnya, ketika orangtua berujar seperti itu, tentu bersamaan dengan pemenuhan kebutuhan dan keperluan remajanya. Sejak remajanya terbangun dari lelapnya tidur, hingga akan tidur. Semua kebutuhan mereka mendapat prioritas perhatian para orangtuanya.
Namun, ketika perhatian tersebut sudah keluar dalam ambang batas kewajarannya, maka remaja yang pintar tersebut akan menarik kesimpulan bahwa ia hidup dalam situasi mudah. bahkan mungkin ada yang menyimpulkan bahwa, mereka hidup tidak lagi sekedar dalam dunia yang serba mudah, tetapi bahkan serba mungkin. Pada posisi seperti ini, kita sebagai orangtua kadang lupa bahwa, kenyataan yang tidak serba mudah justru akan menempa jiwa dan raga remaja menjadi lebih kuat dan lebih pintar.
Asumsi kepada sikap serba mudah dan serba mungkin, akan membawa mereka masuk dalam budaya pragmatisme. Sehingga untuk apa lulus ujian nasional dengan mendapatkan angka maksimal? Kalau toh sebelum ujian berlangsung mereka telah mendapatkan sekolah di jenjang yang lebih tinggi?
Seperti saya sampaikan di atas, semua itu tidak menjadi tren bagi semua remaja. Dan mudah-mudahan itu terjadi pada remaja kita sendiri di rumah. Semoga. Amin.
Jakarta, 29 Maret 2011.
Terus terang, sering saya berpikir ulang jika teman ada yang meminta saya untuk menyampaikan sesuatu di luar apa yang saya tidak kuasai, atau apa yang tidak saya alami, atau apa yang saya tidak pernah lakukan. Dan biasanya, saat berpikir ulang tersebut, ada nama yang sepengetahuan saya lebih menguasai apa yang mereka sodorkan kepada saya. Saya tidak ingin ada komentar dari audiens bahwa apa yang saya sampaikan hanyalah apa yang saya dapatkan dari membaca buku. Namun ketika saya hanya mau menyampaikan apa yang pernah saya alami selama ini mendapat persetujuan teman, maka inilah apa yang saya sampaikan.
1. Digital Native
Ini menurut pendapat orang. Bagaimana bentuk konkritnya pada perilaku mereka dalam ranah ini? Mereka benar-benar memiliki fleksibilatas yang tinggi ketika berhadapan dengan dunia teknologi informasi. Kelenturannya yang dahsyat tersebut membuat mereka menikmati dan tenggelam dalam dunia maya. Sebagaian mereka benar-benar mampu mengekang kemahirannya untuk kebaikannya, dan sebagainnya tenggelam dalam menghabiskan waktunya sekedar untuk sosialisasi. Berbeda dengan kita, sedikit kaku ketika harus berhadapan dengan perangkat TI.
Keberadaannya sebagai pribumi dalam dunia TI, membuatnya juga sukses dalam bermain gambar. Maka, blog dan halaman catatan hariannya akan lebih dipenuhi oleh ilustrasi dan visual daripada narasi seperti apa yang kita lakukan.
Fleksibilitas dan kelenturannya dala bidang itulah yang akhirnya saya berpendapat bahwa sesungguhnya mereka adalah generasi yang pintar. Tapi mengapa nilai angka pelajaran mereka tidak menunjukkan itu? Saya punya dua dugaan. Pertama, karena pelajaran bukan menjadi fokus dan minat dia. dan kedua, dari kenyataan pertama itu, sayangnya cara kita memandang pintar hanya dari nilai mata pelajaran di sekolahnya.
2. Puber
Dalam masa pancaroba ini, remaja relatif klop dengan masa ngeyelnya. Kita yang berada di luar mereka akan selalu melihat itu sebagi sebuah fakta. Padahal sesungguhnya, antara mereka dan kita tidak sedang dalam gelombang dan koordinat yang sama. Ketidaksamaan itu bermakna ketidakpatuhan. Yang bersinonim dengan ngeyel. Padahal, ketika kita masih remaja, apa pendapat kita terhadap remaja yang ada dalam pikiran kita sekarang? Kalau meminjam istilah remaja, cupu.
3. Serba Mudah
Yang berlaku pada umumnya, remaja mendapat prioritas perhatian dari para orangtuanya. Siapa yang akan menyangkal bahwa remaja sekarang berada dalam situasi yang menguntungkannya? Saking beruntungnya, bahkan ada diantara orangtua mereka yang berujar: Dulu saya sudah susah, sekarang anak saya jangan sampai susah. Repotnya, ketika orangtua berujar seperti itu, tentu bersamaan dengan pemenuhan kebutuhan dan keperluan remajanya. Sejak remajanya terbangun dari lelapnya tidur, hingga akan tidur. Semua kebutuhan mereka mendapat prioritas perhatian para orangtuanya.
Namun, ketika perhatian tersebut sudah keluar dalam ambang batas kewajarannya, maka remaja yang pintar tersebut akan menarik kesimpulan bahwa ia hidup dalam situasi mudah. bahkan mungkin ada yang menyimpulkan bahwa, mereka hidup tidak lagi sekedar dalam dunia yang serba mudah, tetapi bahkan serba mungkin. Pada posisi seperti ini, kita sebagai orangtua kadang lupa bahwa, kenyataan yang tidak serba mudah justru akan menempa jiwa dan raga remaja menjadi lebih kuat dan lebih pintar.
Asumsi kepada sikap serba mudah dan serba mungkin, akan membawa mereka masuk dalam budaya pragmatisme. Sehingga untuk apa lulus ujian nasional dengan mendapatkan angka maksimal? Kalau toh sebelum ujian berlangsung mereka telah mendapatkan sekolah di jenjang yang lebih tinggi?
Seperti saya sampaikan di atas, semua itu tidak menjadi tren bagi semua remaja. Dan mudah-mudahan itu terjadi pada remaja kita sendiri di rumah. Semoga. Amin.
Jakarta, 29 Maret 2011.
No comments:
Post a Comment