Apa yang ditulis dalam catatan saya sebelumnya yang berjudul; UN, Catatan Anak SMA, adalah tulisan anak saya sendiri saat yang bersangkutan duduk di bangku kelas XII SMA, yang saya ambil dari blog saya dan juga blog anak saya. Ditulis olehnya pada akhir Maret 2009.
Apa yang dia tulis itu adalah kekecewaan dia atas ketidakbisaberlanjutnya kepesertaannya dalam kompetisi-uji untuk menjadi bagian dari pemain Persija Junior. Mengapa gagal? Karena dalam waktu 3 bulan, Januari hingga akhir Maret dia harus berada di lapangan untuk siap berlatih pada pukul 14.00 hampir setiap hari. Dan menginjak bulan kedua ia tidak lagi dapat hadir di lapangan untuk berlatih.
Karena untuk latihan ia harus meninggalkan kelas satu jam lebih awal. Tentu dengan menggunakan permohonan izin dari saya sebagai orangtuanya, baik secara lisan dan tulis dalam bentuk surat. Namun menginjak bulan kedua, penolakan guru dan lembaganya sudah tidak mungkin dia hindari. Kata: pilih main bola atau lulus ujian? Nyaris dikumandangkan oleh guru. Dan bagi saya, yang kebetulan juga guru, apa yang guru sampaikan adalah wajar. Tapi solusi tegas untuk memilih satu dari dua pilihan yang disampaikan tersebut adalah ungkapan tidak bijak.
Saya membayangkan kalau ini yang dihadapi oleh siswa saya di sekolah, maka saya akan meminta anak dan kedua orangtuanya bertemu dengan kami. Berdiskusi tentang solusi apa? Dan menemukan solusi yang berkait dengan masa depan anak, maka harus melibatkan anak yang bersangkutan sekaligus menyampaikan pandangan kita sebagai pendidik? Bukankah saat itu kalau anak gagal di UN masih ada paket C? Dan jikapun anak memilih untuk menjadi pemain bola tetapi masih juga mungkin untuk tetap bersekolah dan lulus UN? Bukankah jika anak dan orangtua ketika dalam diskusi tersebut, tetap memilih dua pilihan yang ada dan kemudian kita sebagai pihak sekolah khawatir anak tersebut akan gagal UN sehingga muka kita sebagai guru atau sekolah akan tercoreng maka kita bisa meminta anak dan orangtua membuat komitmen tertulis?
Ini adalah cara pandang saya. Saya akan memilih pilihan itu sebagai bagian dari mengukir sejarah positif pada masa depan anak atau siswa saya. Bukan sebaliknya.
Dan akhir cerita anak saya memilih untuk konsentrasi bersekolah. Lalu ia tumpahkan kesumpekan hatinya itu dalam bentuk artikel yang dibeberapa bagiannya diluar EYD.
Dari pengalaman seperti inilah saya mengajak semua teman pendidik untuk tidak memaksakan cara pandangnya kepada siswanya. Buatlah sejarah yang baik bagi masa depan mereka. Jadilah guru yang inspiratif bagi mereka!
Jakarta, 24 Januari 2010.