Tulisan ini bukan tulisan baru saya. Yaitu revisi dari tulisan yang pernah dimuat di Harian Pelita pada Selasa, 14 November 2006 dengan judul UN yang Jujur. Namun karena isu Ujian Nasional jujur tetap menjadi pokok dari pelaksanaan Ujian Nasional yang diselenggarakan di SMP dan SMA serta UASBN untuk SD, maka tulisan di Harian Pelita ini saya menerbitkan dalam blog saya dengan membuat beberapa bagiannya menjadi aktual.
UN yang Jujur
Pelaksanaan UN/UASBN yang jujur di semua sektor dan tingkatan institusi pendidikan adalah yang paling utama. Ini adalah jalan paling terhormat dan bermartabat bagi peningkatan kualitas pendidikan yang sesungguhnya.
Pelaksanaan UN/UASBN dapat dikatakan jujur bilamana tidak terdengar lagi bau tidak sedap tehadap pelaksanaan UN/UASBN itu sendiri. Mengingat dalam setiap pelaksanaan UN/UASBN yang lalu, yang melibatkan banyak unsur, masih juga muncul berita ketidakpatutan di surat kabar. Ini bukan tendensius, tetapi merupakan rahasia umum.
Sebagaimana pernah terjadi pengungkapan terjadinya ‘ketidakberesan UN’ pada tahun 2006 di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Misalnya saja apa yang diungkap oleh Mumul –salah seorang guru di Bogor Jawa Barat- dalam kesaksiannya di pengadilan mengungkapkan tentang briefing Kepala Sekolah agar guru menyiasati soal-soal UN antara lain dengan dengan memberitahukan jawaban disekolah tempat guru mengawas (Kompas, 8 Desember 2006). Dalam berita tersebut, diceritakan pula bahwa Mumul, sempat bertanya kepada siswanya apakah mereka sudah belajar. Namun siswanya justru menjawab; ”ngapain belajar, nanti juga jawabannya dikasih tahu. Mendingan main remi”. Meski hal ini sedang terjadi di pengadilan dalam tataran proses, karena baru memasuki pemeriksaan saksi, namun kita sebagai guru di sekolah, mengerti sekali apa maknanya.
Juga apa yang saya pernah ceritakan pengalaman yang menimpa seorang guru yang kebetuan juga teman sejawat, bahwa keponakannya memintanya untuk dibelikan telephone seluler sebagai bagian dari persiapan UN tahun 2006 yang lalu (Pelita, 23 Mei 2006). Dalam logika orang normal, apakah ada hubungan antara telephone seluler dengan UN? Tetapi dalam realita yang dihadapi keponakan teman itu, itulah letak normalnya. Jadi Abnormal sebagai kenormalan! Atau jika kita masih butuh bukti empiris, simak saja misalnya kasus oknum guru di provinsi Banten yang harus memberikan ”pembinaan” kepada siswanya karena tak tahu diuntung harus meminta kunci jawaban UN tahun 2006 lalu melalui SMS?
Pertanyaannya adalah, mengapa strategi busuk tersebut masih menjadi pilihan bagi sebagian kita untuk mencapai keberhasilan? Apakah karena siswa yang ada di sekolah kita adalah mereka yang memiliki kekurangan sehingga begitu sulitnya untuk mencapai target keberhasilan yang dicanangkan? Pendapat saya tidak. Coba kita renungkan jawaban siswa rekan kita Mumul sebagaimana saya kutip di awal tulisan ini. Dimana siswa tersebut menyampaikan argumentasi mengapa harus belajar kalau saat UN berlangsung siswa diberikan kunci jawaban? Apakah ini kalimat siswa yang memiliki hambatan pemahaman dalam menguasai materi pelajaran? Kalimat itu adalah kalimat analisa. Sehingga setidaknya ia adalah siswa yang masuk dalam taraf rata-rata siswa yang ada di sekolah kita.
Jadi mengapa strategi kotor masih terjadi disetiap tahunnya di sebagian sekolah, sebagai bagian dari pencapaian target UN? Salah satu penyebabnya, menurut saya, adalah karena betapa saktinya nilai hasil UN ini bagi martabat sebuah instutisi.
Bagi masyarakat pada umumnya, hasil UN menjadi dasar satu-satunya untuk melihat kualitas sebuah sekolah. Masyarakat sering tidak peduli bahwa setidaknya hingga tahun 2010 ini, untuk masuk perguruan tinggi negeri, putra-putrinya harus berjuang kembali mengerjakan tes masuk. Sehingga hasil UN SMA yang bagus sekalipun tidak dapat menjadi kunci pembuka gerbang memasuki perguruan tinggi yang diinginkannya secara otomatis. Artinya, sesama institusi pendidikan di dalam negeri pun PTN masih belum menjadikan hasil ujian nasional bagi siswa SMA sebagai prasyarat utama untuk menjadi seorang mahasiswa di lembaganya.
Tetapi karena cara pandang tersebut terlanjur mengakar. Akhirnya sekolah berjuang sekuat tenaga dalam membangun citra sebagai sekolah berkualitas dengan target memperoleh nilai rata-rata UN yang tinggi.
Dengan melihat itu semua, maka seyogyanya hanya melalui strategi kerja keras dan sungguh-sungguh sajalah kita dapat mencapai keberhasilan. Mengapa kita optimis? Karena soal ujian nasional yang berjumlah 30-40 soal, dengan persiapan selama tiga tahun pelajaran dan SKL yang telah disampaikan lebih kurang 6 bulan sebelum pelaksanaan UN/UASBN, adalah senjata sekaligus peta perjalan keberhasilan.
Inilah jalan satu-satunya menjadikan UN/UASBN berlangsung jujur. Sekaligus ’menjaga’ martabat kita sebagai guru.
Sumber: Harian Pelita, 14 Nopember 2006, dengan revisi.
UN yang Jujur
Pelaksanaan UN/UASBN yang jujur di semua sektor dan tingkatan institusi pendidikan adalah yang paling utama. Ini adalah jalan paling terhormat dan bermartabat bagi peningkatan kualitas pendidikan yang sesungguhnya.
Pelaksanaan UN/UASBN dapat dikatakan jujur bilamana tidak terdengar lagi bau tidak sedap tehadap pelaksanaan UN/UASBN itu sendiri. Mengingat dalam setiap pelaksanaan UN/UASBN yang lalu, yang melibatkan banyak unsur, masih juga muncul berita ketidakpatutan di surat kabar. Ini bukan tendensius, tetapi merupakan rahasia umum.
Sebagaimana pernah terjadi pengungkapan terjadinya ‘ketidakberesan UN’ pada tahun 2006 di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Misalnya saja apa yang diungkap oleh Mumul –salah seorang guru di Bogor Jawa Barat- dalam kesaksiannya di pengadilan mengungkapkan tentang briefing Kepala Sekolah agar guru menyiasati soal-soal UN antara lain dengan dengan memberitahukan jawaban disekolah tempat guru mengawas (Kompas, 8 Desember 2006). Dalam berita tersebut, diceritakan pula bahwa Mumul, sempat bertanya kepada siswanya apakah mereka sudah belajar. Namun siswanya justru menjawab; ”ngapain belajar, nanti juga jawabannya dikasih tahu. Mendingan main remi”. Meski hal ini sedang terjadi di pengadilan dalam tataran proses, karena baru memasuki pemeriksaan saksi, namun kita sebagai guru di sekolah, mengerti sekali apa maknanya.
Juga apa yang saya pernah ceritakan pengalaman yang menimpa seorang guru yang kebetuan juga teman sejawat, bahwa keponakannya memintanya untuk dibelikan telephone seluler sebagai bagian dari persiapan UN tahun 2006 yang lalu (Pelita, 23 Mei 2006). Dalam logika orang normal, apakah ada hubungan antara telephone seluler dengan UN? Tetapi dalam realita yang dihadapi keponakan teman itu, itulah letak normalnya. Jadi Abnormal sebagai kenormalan! Atau jika kita masih butuh bukti empiris, simak saja misalnya kasus oknum guru di provinsi Banten yang harus memberikan ”pembinaan” kepada siswanya karena tak tahu diuntung harus meminta kunci jawaban UN tahun 2006 lalu melalui SMS?
Pertanyaannya adalah, mengapa strategi busuk tersebut masih menjadi pilihan bagi sebagian kita untuk mencapai keberhasilan? Apakah karena siswa yang ada di sekolah kita adalah mereka yang memiliki kekurangan sehingga begitu sulitnya untuk mencapai target keberhasilan yang dicanangkan? Pendapat saya tidak. Coba kita renungkan jawaban siswa rekan kita Mumul sebagaimana saya kutip di awal tulisan ini. Dimana siswa tersebut menyampaikan argumentasi mengapa harus belajar kalau saat UN berlangsung siswa diberikan kunci jawaban? Apakah ini kalimat siswa yang memiliki hambatan pemahaman dalam menguasai materi pelajaran? Kalimat itu adalah kalimat analisa. Sehingga setidaknya ia adalah siswa yang masuk dalam taraf rata-rata siswa yang ada di sekolah kita.
Jadi mengapa strategi kotor masih terjadi disetiap tahunnya di sebagian sekolah, sebagai bagian dari pencapaian target UN? Salah satu penyebabnya, menurut saya, adalah karena betapa saktinya nilai hasil UN ini bagi martabat sebuah instutisi.
Bagi masyarakat pada umumnya, hasil UN menjadi dasar satu-satunya untuk melihat kualitas sebuah sekolah. Masyarakat sering tidak peduli bahwa setidaknya hingga tahun 2010 ini, untuk masuk perguruan tinggi negeri, putra-putrinya harus berjuang kembali mengerjakan tes masuk. Sehingga hasil UN SMA yang bagus sekalipun tidak dapat menjadi kunci pembuka gerbang memasuki perguruan tinggi yang diinginkannya secara otomatis. Artinya, sesama institusi pendidikan di dalam negeri pun PTN masih belum menjadikan hasil ujian nasional bagi siswa SMA sebagai prasyarat utama untuk menjadi seorang mahasiswa di lembaganya.
Tetapi karena cara pandang tersebut terlanjur mengakar. Akhirnya sekolah berjuang sekuat tenaga dalam membangun citra sebagai sekolah berkualitas dengan target memperoleh nilai rata-rata UN yang tinggi.
Dengan melihat itu semua, maka seyogyanya hanya melalui strategi kerja keras dan sungguh-sungguh sajalah kita dapat mencapai keberhasilan. Mengapa kita optimis? Karena soal ujian nasional yang berjumlah 30-40 soal, dengan persiapan selama tiga tahun pelajaran dan SKL yang telah disampaikan lebih kurang 6 bulan sebelum pelaksanaan UN/UASBN, adalah senjata sekaligus peta perjalan keberhasilan.
Inilah jalan satu-satunya menjadikan UN/UASBN berlangsung jujur. Sekaligus ’menjaga’ martabat kita sebagai guru.
Sumber: Harian Pelita, 14 Nopember 2006, dengan revisi.
No comments:
Post a Comment