"Kapan Pak Agus saya kebagian menjadi Wakil Kepala Sekolah." Kata sahabat karib saya ketika proses pemilihan Wakil Kepala Sekolah sedang berlangsung. Sebuah ungkapan yang saya tidak tahu apakah itu keluar sebagai kelakar atau memang jeritan hatinya. Mengapa? Karena kalimat itu keluar manakala kami sedang melakukan panel diskusi dengan sebagian kandidat Wakil Kepala Sekolah, yang mana karib saya itu menjadi bagian dari proses yang sedang kami jalani bersama.
Jadi terus terang sulit juga bagi saya untuk mengomentari atau memberikan jawaban atas lontaran kalimat tersebut. Kalau saya melihat dan menganggap hal itu serius, pasti orang yang mengeluarkan kalimat tersebut memang tidak pantas menjadi bagian dari manajemen sekolah. Karena saya berasumsi bahwa karib saya itu hanya pas jika sekolah dalam kondisi kondusif dan tidak ada riak gelombang.
Tetapi jika itu sebagai guyonan, sebagai kelakar seorang guru dengan teman karibnya, kepada saya, maka saya merasakan ada yang kurang beres terhadap teman karib ini. Karena kalimatnya itu bukan kalimat senda gurau. Bukan kalimat candaan yang pas dalam situasi seperti itu.
Oleh karenanya, saya tidak sama sekali melihat atau menghubungkan kalimat tanyanya itu sebagai bagian dari unsur yang menjadi pertimbangan kami ketika kami mengumpulkan poin di akhir diskusi panel yang kami laksanakan. Dan kalau kami masukkan, pasti karib sayalah orang yang pertama kali mental dari kancah kandidat yang ada.
"Apa yang menjadi modal buat karib Pak Agus berkata seperti itu jika kalimatnya itu kita anggap sebagai kalimat serius?" Demikian kata teman saya yang menjadi salah satu penelis dalam diskusi panel tersebut.
"Mungkin senioritasnya." Kata saya sederhana saja.
"Tapi apakah cukup ingin suatu jabatan hanya dengan kapital senioritas di sekolah kita yang seperti ini? Apakah tidak memikirkan bagaimana menangani suatu ketidakpuasan pihak lain? Bagaimana berkomunikasi secara persuasi argumentatif dengan bahasa yang tetap santun?" lanjut teman saya. Dan dari kalimat yang disusunya, teman saya itu menyangka bahwa saya akan menjadi pendukung atas keinginan karib saya terhadap jabatan yang sedang kami proses pengisinya.
Saya tersenyum mendengar kalimatnya yang lumayan bertubi itu. Saya sendiri terpikir bahwa untuk sebuah lembaga pendidikan yang kompetitif, maka dibutuhkan manajemen yang juga pasti harus kompetitif. Dengan demikian karib saya harus berpikir sejauh mana nilai kompetitif dirinya untuk jabatan yang diingininya?
Jakarta, 15.02 2016.
No comments:
Post a Comment