Dalam sebuah perjalanan ke Pantai Pandawa di Bali beberapa waktu lalu, kami harus singgah sebentar di sebuah masjid di tengah-tengah perjalanan. Ini karena keberadaan mushola yang ada di rumah makan Sunda yang kami singgahi terlampau kecil. Hanya mampu memuat jamaah dua baris termasuk imam sholat, dengan jumlah jamaah maksimal ilma orang. Untuk itulah, maka romobongan memutuskan untuk singgah di masjid sesuai dengan rekomendasi para sopir bus yang kami tumpangi.
Nah, dalam perjalanan inilah kami punya kesempatan untuk melaksanakan sholat di masjid yang berada dalam kompleks rumah ibadah di sebuah fasilitas umum. Lokasi dimana masjid berada ini menyediakan halaman parkir yang luas. 3 kendaraan yang mengangkut kami leluasa memilih tempat parkir.
"Tidak ada uang parkir di tempat ini Pak. Hanya memberikan uang kebersihan sebagai kontribusi bagi pemeliharaan kebersihan lingkungan umum ini" Ujar seorang berperawakan sedang dengan pakaian seragam. Kesan pertama yang ada pada diri saya tentang orang tersebut adalah sebagai petugas yang menunggu atau menjaga halaman parkir tersebut. Karena beliau berada di lokasi dengan seragamnya itu. Dan dugaan saya tidak meleset. Karena dialah yang mengatur bus-bus besar yang baru datang setelah kami berda di lokasi itu, dan memposisikan parkir.
Sebagai orang yang datang dari Jakarta, saya punya pikiran khas, bahwa kalau ada yang mengatakan sebagaimana yang disampaikan oleh orang seperti itu, maka saya menganggapnya sebagai perbedaan istilah saja. "Tidak ada uang parkir, yang ada uang kebersikan. Bukankah itu beda nama?" Begitulah alur logika saya. Mungkin ini logika yang tercemar oleh semangat hedonis. Terpapar oleh polusi kekinian yang selalu merujuk kepada pola instanisasi. Tetapi itulah lintasan pikiran yang paling pertama.
Mengingat saya bukan sebagai penanggungjawab dalam hal ini, maka seseorang menyampaikan pesan penjaga parkir di halaman itu kepada ibu panitia. Dan disampaikanlah uang kebersihan itu sebesar Rp 25 ribu rupiah. Dengan satu lembar uang lima ribuan dan satu lembar lainnya adalah dua puluh ribuan.
"Uang kebersihannya cukup lima ribu saja Bu." tutur Pak pejaga parkir tersebut sembari mengembalikan satu lembar uang dua puluh ribuan.
"Uang kebersihannya cukup lima ribu saja. Uang ibu kebanyakan." lanjut Bapak petugas parkir tersebut.
Saya yang duduk di belakang, dan kebetulan menyaksikan drama perilaku kehidupan tersebut tercengang, dan selanjudnya kagum. Kagum bahwa ada petugas di lokasi umum yang mengembalikan uang yang diterimanya karena menurut ukurannya kelebihan. Sebuah atraksi kehidupan yang mempertontonkan perilaku merasa 'cukup. Sekaligus sebagai penawar bagi perilaku rakus dan serba kekurangan yang ahir-akhir ini benar-benar telah menyeruak di beranda rumah kita. Inilah titik pusat bagi saya untuk belajar tidak tamak!
Jakarta, 18 Mei 2014.
No comments:
Post a Comment