Beberapa waktu lalu kita sempat terkena polusi pemikiran, yaitu ketika melalui sms ada seorang ustad yang sedang berada di kota suci dalam melaksanakan umroh, menawarkan jasanya untuk mendoakan kepada siapa saja yang bersedekah dalam kelipatan 100 ribu rupiah. Tidak lama sesudah tersiar kabar itu, maka beramai-ramai umat mengemukakan pendapatnya. Hingga akhirnya reda polusi itu dari udara kita.
Namun jauh sebelum itu, saya juga mendengar apa yang disampaikan oleh beberapa teman guru yang memiliki kebiasaan 'celamitan' , kepada siapa saja yang dianggapnya dikenalnya dengan baik. Apakah itu siswanya atau orangtua siswa. Dan kebiasaan seperti itu, sudah berkali-kali diingatkan namun tetap saja tidak menjadi perhatian penting baginya.
"Minggu depan Bapak berangkat ya. Enam hari Bapak tidak mengajar. Apakah ada yang mau titip do'a? Tolong sampaikan ke Ayah/Ibu. Tapi jangan hanya titip do'a saja ya?" Begitu lebih kurang kalimat teman saya yang memang sudah menjadi karakternya untuk tetap celamitan' . Kebiasaan yang mengakar walau itu tidak bermartabat.
Dan atas kebiasaannya itu, maka sebagian teman sejawatnya yang kurang menempatkan harga drinya pada posisi yang semestinya, sebagaimana ia menyandang profesinya. Ia, mesi dengan pengalaman mengajar, bertitel megister, atau mengikuti berbagai pelatihan motivasi dan cara berpikir maju, tetap saja tidak menjadikannya lebih berharga. Harga dirinya adalah celamitan' itu.
Itulah yang ingin saya sampaikan di dalam catatan ini. Bahwa martabat dan harga seseorang itu berangkan dan berpondasi kepada seluruh aspek perilaku yang dipertunjukkan kepada kalayak sepanjang kehidupannya sehari-hari.
Mudah-mudahan ini menjadi butiran pembeajaran untuk saya. Setidaknya untuk tidak pernah mengeluhkan tentang kondisi diri kepada pihak yang memang bukan penyelesai masalah. Apa lagi harus meminta sumbangan. InsyaAllah. Amin.
Jakarta, 25 April 2014.
No comments:
Post a Comment