Pada masa Pemilu Legislatif sekarang ini, mungkin pula sejak model Pemilu kita menjadi terbuka dengan jumlah Partai Politik yang lebih dari dua, maka banyak kesempatan dari masyarakat untuk menjadi bagian dalam Pemilu dengan masuk menjadi bursa calon legeslatif atau sering disikat sebagai Caleg. Termasuk tentunya pada Pemilu Legeslatif tahun 2014 ini.
Dimana di sepanjang jalan dimanapun yang kita lalui sekarang ini, sebelum masa tenang menuju hari H Pileg yang akan jatuh pada Rabu tanggal 9 April ini, penuh dengan berbagai model dan gaya, memancing kita untuk menjadi pemilihnya. Dan itu adalah usaha keras para Caleg untuk memperoleh kursi idamannya di lembaga Dewan. Apakah itu Kota, Daerah, atau Pusat.
Bisa dibayangkan berapa rupiah yang harus dikeluarkan seorang Caleg tingkat daerah tingkat II misalnya, harus membuat 1000 lembar spanduk pohon untuk setiap kecamatan, maka ia harus membuat dalam jumlah 3000 spanduk pohon. Dan bila satu spanduk plus ongkos pasangnya dihargai lima puluh ribu rupiah, maka biaya yang harus keluar dari Caleg tersebut untuk spanduk itu saja 15 juta rupiah. Belum biaya lain-lain yang pasti tidak akan selesai sebelum Pileg itu benar-benar dilaksanakan!
Demikian pula iklan yang dapat kita jumpai di halaman-halaman koran cetak atau on line. Semarak dalam menawarkan visi, misi, dan ajakan. Tidak ketinggalan juga di kaca belakang bus kota atau angkutan KWK atau mikrolet.
Jika mereka adalah sosok yang memang selama ini kita bersama kenal, baik yang memang sering bolak-balik ke Jalan Rasuna Said dan menjadi berita di layar TV, atau memang yang berprestasi tinggi, ikhtiar mereka untuk menjadi (kembali) adalah sesuatu yang kurang menarik hati saya dan layak untuk saya buatkan catatan refleksi. Tetapi justru kepada Caleg di tingkat daerah dengan sosok-sosok yang terus terang baru saya kenal, maka refleksi saya inilah salah satu jendela katarsis saya pribadi.
Berhitung
Saya pastikan bahwa nilai pelajaran berhitung para caleg model yang terakhir itu, pasti tidak mengecewakan. Artinya lumayan. Bukankah dengan nilainya itu hingga mereka luus sekolah? Tapi bukankah juga nilai itu adalah nilai angka yang ada di rapot sekolahnya? Dan bukan nilai yag menempel di dalam kehidupannya sehari-harinya?
Maksudnya? Bayangkan saja, jika di suatu daerah pemilihan tingkat II, kursi DPRD II untuk 3 kecamatan hanya ada, katakanlah 10 kursi, dan itu diperebutkan oleh 10 partai misalnya lagi, dan masing-masing partai terdapat 9 caleg, maka bukankah aka terdapat 90 orang caleg untuk berebut 10 kursi?
Bukankah hal yang mudah bagi kita bahwa dari sekian partai politik itu ada yang memang dikenal baik di lokasi pemilihan tersebut, dan ada juga yang memang kurang mendapat sambutan? Bagaimana jika ia adalah caleg no. 10 dari sebuah partai politik yang kurang dikenal oleh masyarakat? Berapa nilai kemungkinan yang didapatnya untuk menjadi satu dari 10?
Realitas itulah yang membuat saya benar-benar tidak habis untuk memikirkannya. Tapi, justru ke arah itulah saya berpikir, jika para pelakunya saja tidak ambil pusing untuk melakukan hitungan sebagaimana ilustrasi yang saya buat tersebut di atas, mengapa pula saya harus sibuk ikut serta dalam menebak-nebak seberap besar kesempatan mereka akan jadi? Inilah hasil tontonan saya menjelang hari tenang pada Pileg tanggal 9 April 2014 nanti...
Bisa dibayangkan berapa rupiah yang harus dikeluarkan seorang Caleg tingkat daerah tingkat II misalnya, harus membuat 1000 lembar spanduk pohon untuk setiap kecamatan, maka ia harus membuat dalam jumlah 3000 spanduk pohon. Dan bila satu spanduk plus ongkos pasangnya dihargai lima puluh ribu rupiah, maka biaya yang harus keluar dari Caleg tersebut untuk spanduk itu saja 15 juta rupiah. Belum biaya lain-lain yang pasti tidak akan selesai sebelum Pileg itu benar-benar dilaksanakan!
Demikian pula iklan yang dapat kita jumpai di halaman-halaman koran cetak atau on line. Semarak dalam menawarkan visi, misi, dan ajakan. Tidak ketinggalan juga di kaca belakang bus kota atau angkutan KWK atau mikrolet.
Jika mereka adalah sosok yang memang selama ini kita bersama kenal, baik yang memang sering bolak-balik ke Jalan Rasuna Said dan menjadi berita di layar TV, atau memang yang berprestasi tinggi, ikhtiar mereka untuk menjadi (kembali) adalah sesuatu yang kurang menarik hati saya dan layak untuk saya buatkan catatan refleksi. Tetapi justru kepada Caleg di tingkat daerah dengan sosok-sosok yang terus terang baru saya kenal, maka refleksi saya inilah salah satu jendela katarsis saya pribadi.
Berhitung
Saya pastikan bahwa nilai pelajaran berhitung para caleg model yang terakhir itu, pasti tidak mengecewakan. Artinya lumayan. Bukankah dengan nilainya itu hingga mereka luus sekolah? Tapi bukankah juga nilai itu adalah nilai angka yang ada di rapot sekolahnya? Dan bukan nilai yag menempel di dalam kehidupannya sehari-harinya?
Maksudnya? Bayangkan saja, jika di suatu daerah pemilihan tingkat II, kursi DPRD II untuk 3 kecamatan hanya ada, katakanlah 10 kursi, dan itu diperebutkan oleh 10 partai misalnya lagi, dan masing-masing partai terdapat 9 caleg, maka bukankah aka terdapat 90 orang caleg untuk berebut 10 kursi?
Bukankah hal yang mudah bagi kita bahwa dari sekian partai politik itu ada yang memang dikenal baik di lokasi pemilihan tersebut, dan ada juga yang memang kurang mendapat sambutan? Bagaimana jika ia adalah caleg no. 10 dari sebuah partai politik yang kurang dikenal oleh masyarakat? Berapa nilai kemungkinan yang didapatnya untuk menjadi satu dari 10?
Realitas itulah yang membuat saya benar-benar tidak habis untuk memikirkannya. Tapi, justru ke arah itulah saya berpikir, jika para pelakunya saja tidak ambil pusing untuk melakukan hitungan sebagaimana ilustrasi yang saya buat tersebut di atas, mengapa pula saya harus sibuk ikut serta dalam menebak-nebak seberap besar kesempatan mereka akan jadi? Inilah hasil tontonan saya menjelang hari tenang pada Pileg tanggal 9 April 2014 nanti...
Jakarta, 2.04.2014.
No comments:
Post a Comment