Hari itu, lebih kurang perjalanan tujuh jam di kereta api dari Purworejo menuju Jatinegara, saya duduk bersebelahan dengan seorang anak muda yang membuat hati saya kagum. Karena itulah maka sejak pertama dia menyapa saya ketika naik di stasiun Purwokerto, saya sudah iri. Karena pengalaman itu langsung memantik diri saya untuk mengingat anak-anak saya yang juga seusia dia. Namun karena saya bertekat untuk menyelesaikan novel baru terbit, yang merupakan sekuel kedua dari trilogi, yang menurut penerbitnya, best seller, maka hampir sepanjang perjalanan itu saya tidak tertarik untuk sekedar berdiskusi dengannya. Atau setidaknya membuka percakapan kemudian mengembangkannya.
Anak muda satun, tentu menarik perhatian saya. Ini karena karakter santun, terlebih itu berasal dari seorang yang masih muda usia, amatlah jarang bisa saya temui pada masa sekarang ini. Yang banyak saya temui justru kebalikan dari itu. Misalnya, ketika bersama tetangga kami terlibat berbicara kanan-kiri (baca: Bahasa Jawanya ngalor ngidul)di pinggir jalan kampung kami, maka tidak banyak anak muda yang ketika harus melintas di depan kami, untuk kemudian secara sadar mau mengucapkan permisi.
Untuk alasan itulah, maka saya berhak mengagumi dan mensyukuri keberadaan anak muda yang santun, yang kebetulan duduk di samping saya di perjalanan itu.
Sekali lagi, ini karena sejak saya membeli novel itu dengan diskon 20 % di toko langganan plus disampul plastik di pertokoan yang berada di samping persis gedung budaya di Yogyakarta itulah, sehingga saya bertekat untuk membaca habis sebelum kereta sampai di Jatinegara, dan itulah antara lain penyebab mengapa saya begitu tidak perduli terhadap situasi menarik yang seharusnya menjadi bahan galian ilmu bagi saya untuk dapat belajar. Oleh karenanya percakapan dengan anak muda yang santun itu baru saya lakukan ketika perjalanan sudah sampai di Kerawang. Di kota itu, buku baru saya itu nyaris tamat.
Namun jangan salah, bahwa saya mendapatkan kesan santun itu justru ketika ia kali pertama meletakkan tas punggungnya di bagasi atas melalui bagian belakang dimana saya duduk. Jadi tidak melalui bagian dimana saya duduk. Juga ketika dia meminta permisi untuk menempati tempat duduknya di kursi nomor 11 A, tempat duduk yang ada di samping saya.
Juga ketika kami terlibat percakapan sedikit-sedikit, misalnya ketika ia pamit untuk pergi ke toilet kereta. Serta juga ketika ia menegur saya ketika saya kembali ke tempat duduk saya ketika saya pergi ke gerbong belakang untuk bertemu dengan sahabat saya yang kebetulan tadi bertemu di peron stasiun.
Saya paham bahwa teguran itu bisa menjadi titik awal bagi saya untuk memulai bercakap-cakap yang tidak sekedar percakapan basa-basi. Namun itu tidak kami gunakan. Seperti apa yang saya sampaikan tadi bahwa, saya lebih tertarik untuk menghabiskan bacaan saya tentang perjuangan hidup orang yang sekarang ini tengah menjadi menteri di pemerintahan SBY.
Pekerjaan, Menuntunnya Menjadi Santun
Dan ketika posisi kereta api yang kami tumpangi hanya membutuhkan waktu tidak lebih dari 30 menit ke stasiun Jatinegara, maka kami terlibat pembicaraan intens. Yang kemudian meski sedikit, saya mengetahui siapa gerangan anak muda yang santun itu.
Bahwa ia menjadikan santun dan ramah itu sebagai karakter hidup dia. Sebuah perilaku yang didapatnya dari pelatihan yang dilakukan oleh para pimpinan lembaga dimana ia bekerja sebagai peramusaji di sebuah tempat belanja yang ada di kota Cilacap. Dan keberangkatannya menuju Jakarta, adalah bagian daam pengembangan diri untuk menjadi pelayan yang baik dan santun. Dan kesantunan itulah yang ia pelihara sebagai sikap pribadinya sehari-hari dan bukan sekedar ketika ia berada di depan costumer. Hebat.
"Saya senang bisa ketemu Anda di kereta ini. Semoga modal Anda ini akan menghantarkan Anda menjalani hidup lebih sukses di masa depan. Amin." Lebih kurang itulah kata-kata saya ketika kereta yang kami tumpangi telah sampai di sekitar Pondok Kopi.
"Terima kasih Pak." Jawab anak muda itu.
Jakarta, 19 Februari 2013.
No comments:
Post a Comment