...
Lirik-lirik lagu itulah yang terngiang dalam lamunan saya ketika di suatu malam, saya harus meninggalkan salah satu pertokoan yang ada di jalan Malioboro, yang merupakan pusat kota Yogyakarta sekitar pukul delapan malam. Dan pada lirik kaki lima serta musisi jalanan yang benar-benar sedang mengena di jantung saya.
Belum malam di jalan Malioboro ketika pukul delapan itu. Bahkan masih amat sore. Karena itu maka para pejalan kaki masih relatif memenuhi sepanjang jalan itu. Mungkin ada diantaranya yang sembari cuci mata sekalian berbelanja apa yang membuatnya tertarik di sepanjang jalan itu. Atau ada pula yang akan mencoba makan nasi gudeg lesehan.
Kepada mereka yang berada di sepanjang jalan itu, mohon maaf bahwa malam itu saya tidak mencoba untuk menikmatinya. Ini karena saya harus segera melanjutkan perjalanan dan menemukan kendaraan umum yang bisa mengantarkan saya ke rumah orangtua saya di 60 kilometer dari posisi saya sekarang ini.
Terutama sekali para seniman yang penuh gairah pada saat mensajikan seni tradisi di sepanjang sisi kanan jalan itu. Para seniman yang berkelompok mengusung keahliannya dalam mengorkestrasi seni yang dikuasainya. Dan meski sekelebat saya berada di hadapan mereka sebagai salah satu audiens dadakannya, saya relatif dapat meletakkan pengalaman indah itu di dalam relung jiwa saya sebagai penumbuh subur cinta saya kepada negeri tercinta ini.
Banyumasan
Paling pertama yang saya harus lalui adalah kelompok seniman tradisi yang mengusung alat musik tradisi Banyumasan. Sebuah kelompok yang para anggotanya sering saya lihat tampil di trotoar depan benteng seberang Gedung Agung, di ujung jalan Malioboro jauh hari sebelum malam itu. Namun pada penampilan malam itu, kelompok ini menambah beberapa anggota baru sebagai penarinya. Yaitu seorang perempuan muda dan seorang anak belasan tahun. Semua anggota kelompok mengenakan pakaian seragam khas Banyumasan. Dan pada saat saya melintas, mereka sedang memainkan instrumen tradisi itu untuk tembang pop nasional. Kelompok ini saya temui persis berada di seberang Mal Malioboro, diujung jalan Dagen. Meski mereka berada di jalan pedestrian yang diperuntukkan untuk pejalan kaki, becak dan andong, tetapi ada dua orang laki-laki yang bertugas mengatur arus lalu lintas di situ.
Kolintang
Lebih kurang dua ratus meter dari lokasi musisi pertama di ujung jalan Dagen tersebut, saya menemukan sekolompok musisi yang memainkan kolintang. Kelompok ini juga tidak kalah manarik perhatian orang yang sedang berada tidak jauh dari situ. Justru ada beberapa orag nampak menikmati penampilan musisi ini dengan berjoget di depan alat-alat musik yang sedang dimainkan. Dan seperti pada kelompok pertama tadi, kelompok ini juga menerima tawaran dari para penonton untuk memainkan alat musiknya pada lagu tertentu.
Angklung
Tidak kalah dengan para musisi tradisi yang memperlihatkan bagaimana piawainya mereka dalam memainkan alat-alat musik tradisi yang dibawanya dengan mengintrumentalkan lagu-lagu yang ada, baik lagu daerah, nasional, atau bahkan lagu dari luar, maka kelompok musisi berikut yang saya temui masih di jalan Malioboro pada malam itu adalah mereka yang memainkan seperangkat alat musik Sunda, angklung. Tidak saja yang untuk melodinya, tetapi juga untuk bagian ritem dan bas.
Sedang di lantai bagian atas Mirota yang berada di dekat Gedung Agung, yang menjadi kafe, suara musik moderen dengan bantuan sound system juga terdengar menghentak-hentak dari jalanan.
Dan terlepas dari semua suguhan yang saya nikmati selintas ketika saya harus meninggalkan jalan Malioboro itu, saya merasakan bahwa ada aroma pergeseran ikhtiar dan perjuangan dari para 'musisi jalanan' yang berada di sepanjang jalan ini. Dan musik tradisi yang saya temukan pada malam itu, nampaknya memberikan warna dan kesan tersendiri bagi saya yang sekali-sekali berkunjung di jalan itu. Warna dan kesan yang menyenankan sekaligus membanggakan.
Akankah Jalan Malioboro akan seperti Broadway di negeri jauh itu? Allahua'lam.
Di persimpangan langkahku terhenti
Ramai kaki lima
Menjajakan sajian khas berselera
Orang duduk bersila
Ramai kaki lima
Menjajakan sajian khas berselera
Orang duduk bersila
Seiring laraku kehilanganmu
Musisi jalanan mulai beraksi
...Lirik-lirik lagu itulah yang terngiang dalam lamunan saya ketika di suatu malam, saya harus meninggalkan salah satu pertokoan yang ada di jalan Malioboro, yang merupakan pusat kota Yogyakarta sekitar pukul delapan malam. Dan pada lirik kaki lima serta musisi jalanan yang benar-benar sedang mengena di jantung saya.
Belum malam di jalan Malioboro ketika pukul delapan itu. Bahkan masih amat sore. Karena itu maka para pejalan kaki masih relatif memenuhi sepanjang jalan itu. Mungkin ada diantaranya yang sembari cuci mata sekalian berbelanja apa yang membuatnya tertarik di sepanjang jalan itu. Atau ada pula yang akan mencoba makan nasi gudeg lesehan.
Kepada mereka yang berada di sepanjang jalan itu, mohon maaf bahwa malam itu saya tidak mencoba untuk menikmatinya. Ini karena saya harus segera melanjutkan perjalanan dan menemukan kendaraan umum yang bisa mengantarkan saya ke rumah orangtua saya di 60 kilometer dari posisi saya sekarang ini.
Terutama sekali para seniman yang penuh gairah pada saat mensajikan seni tradisi di sepanjang sisi kanan jalan itu. Para seniman yang berkelompok mengusung keahliannya dalam mengorkestrasi seni yang dikuasainya. Dan meski sekelebat saya berada di hadapan mereka sebagai salah satu audiens dadakannya, saya relatif dapat meletakkan pengalaman indah itu di dalam relung jiwa saya sebagai penumbuh subur cinta saya kepada negeri tercinta ini.
Banyumasan
Paling pertama yang saya harus lalui adalah kelompok seniman tradisi yang mengusung alat musik tradisi Banyumasan. Sebuah kelompok yang para anggotanya sering saya lihat tampil di trotoar depan benteng seberang Gedung Agung, di ujung jalan Malioboro jauh hari sebelum malam itu. Namun pada penampilan malam itu, kelompok ini menambah beberapa anggota baru sebagai penarinya. Yaitu seorang perempuan muda dan seorang anak belasan tahun. Semua anggota kelompok mengenakan pakaian seragam khas Banyumasan. Dan pada saat saya melintas, mereka sedang memainkan instrumen tradisi itu untuk tembang pop nasional. Kelompok ini saya temui persis berada di seberang Mal Malioboro, diujung jalan Dagen. Meski mereka berada di jalan pedestrian yang diperuntukkan untuk pejalan kaki, becak dan andong, tetapi ada dua orang laki-laki yang bertugas mengatur arus lalu lintas di situ.
Kolintang
Lebih kurang dua ratus meter dari lokasi musisi pertama di ujung jalan Dagen tersebut, saya menemukan sekolompok musisi yang memainkan kolintang. Kelompok ini juga tidak kalah manarik perhatian orang yang sedang berada tidak jauh dari situ. Justru ada beberapa orag nampak menikmati penampilan musisi ini dengan berjoget di depan alat-alat musik yang sedang dimainkan. Dan seperti pada kelompok pertama tadi, kelompok ini juga menerima tawaran dari para penonton untuk memainkan alat musiknya pada lagu tertentu.
Angklung
Tidak kalah dengan para musisi tradisi yang memperlihatkan bagaimana piawainya mereka dalam memainkan alat-alat musik tradisi yang dibawanya dengan mengintrumentalkan lagu-lagu yang ada, baik lagu daerah, nasional, atau bahkan lagu dari luar, maka kelompok musisi berikut yang saya temui masih di jalan Malioboro pada malam itu adalah mereka yang memainkan seperangkat alat musik Sunda, angklung. Tidak saja yang untuk melodinya, tetapi juga untuk bagian ritem dan bas.
Sedang di lantai bagian atas Mirota yang berada di dekat Gedung Agung, yang menjadi kafe, suara musik moderen dengan bantuan sound system juga terdengar menghentak-hentak dari jalanan.
Dan terlepas dari semua suguhan yang saya nikmati selintas ketika saya harus meninggalkan jalan Malioboro itu, saya merasakan bahwa ada aroma pergeseran ikhtiar dan perjuangan dari para 'musisi jalanan' yang berada di sepanjang jalan ini. Dan musik tradisi yang saya temukan pada malam itu, nampaknya memberikan warna dan kesan tersendiri bagi saya yang sekali-sekali berkunjung di jalan itu. Warna dan kesan yang menyenankan sekaligus membanggakan.
Akankah Jalan Malioboro akan seperti Broadway di negeri jauh itu? Allahua'lam.
Jakarta, 19-21 Februari 2013.
No comments:
Post a Comment