Terbang ke Jambi untuk memenuhi undangan sebuah lembaga pendidikan guna memberikan training kepada para guru pada penghujung akhir tahun 2001, sepuluh tahun yang lalu, adalah pengalaman pertama. Tidak saja pengalaman pertama untuk datang ke Jambi yang kala itu memiliki lahan serta perlengkapan lengkap eks MTQ yang tidak lagi terawatt dengan baik, tetapi juga pengalaman pertama untuk memberikan training di luar Jabodetabek. Karenanya, pengalaman pertama itu menyisakan buat saya cerita menarik.
Cerita ini terjadi persis pada saat saya sampai bandara dan dijemput begitu keluar dari gedung bandara setelah mengambil barang di bagasi.
Menarik, bukan karena penjemput dan saya sendiri masing-masing belum pernah bertemu muka satu sama lain, selain hanya saling mendengar suara melalui pesawat telepon. Tetapi karena persepsi kita, terutama persepsi penjemput terhadap saya.
Persepsi Menyesatkan
Penjemput itu, yang adalah para pejabat sekolah, yang adalah para kepala SD, SMP, dan SMK, yang juga adalah host dalam pelatihan tersebut untuk saling menyorongkan diri untuk menemui saya pertama kali. Mereka semua tentu belum kenal yang mana saya diantara penumpang yang turun di bandara itu.
Hal ini terjadi karena sesame mereka tidak cukup memiliki percaya diri. Mereka merasa dan menyadari bahwa keberadaan mereka yang di Jambi tentu tidak seberuntung dengan tamunya yang asal Jakarta, dan itu yang membuatnya minder jika harus menyambut dan menemani trainer dari Jakarta. Mereka berpikir bahwa trainer dari Jakarta pasti yang mengenakan pakaian necis dengan dasi dan stelan jas serta tas tangan yang mengirimkan aroma wibawa. Plus, tentunya pintar. Karena itu, mereka minder karena mereka mengukur dirinya tidak satu level.
Dan cerita ini merupakan tuturan dari salah seorang dari tiga host yang mengundang saya itu. Yang kebetulan juga sebagai Ketua Yayasan tempat ketiga unit sekolah tersebut bernaung.
Plekenthus…
Meminjam istilah dari Almarhum Bapak Soesilo Soedarman, mantan menteri zaman Presiden Soeharto, persepsi mereka tentang saya yang dari Jakarta langsung rontok mana kala tongkrongan saya jauh berbeda dari apa yang hidup dalam persepsi mereka. Itu terjadi manakala saya mengangkat telepon yang berdering, dan ternyata itu adalah telepon salah satu dari mereka. Maka setelah tebak gerak-gerik dan tebak muka ketemulah kami berempat.
Itulah pertemuan awal kami, yang pasti sangat mengagetkan mereka. Karena saya ternyata adalah juga seperti mereka. Namanya juga guru yang asal muasalnya dari kampung, pikir saya. Saya geli mendengar bagaimana mereka menghidupkan persepsi tentang trainer dari Jakarta. Untung sekali mereka ketemu saya. Karena dengan itu, setidaknya di lain waktu atau lain kesempatan, mereka akan menjadi lebih arif ketika bertemu atau berkomunikasi dengan orang lain yang berbeda level dan asal.
Tetapi justru dengan persepsi itulah yang pada akhirnya kami dapat membangun persahabatan yang lebih dekat dan lebih menyenangkan. Termasuk masuk ke sebuah warnet di kota Jambi, untuk membuatkan akun email mereka di sela-sela makan malam…
Jakarta, 09 Nopember 2009 - 30 Nopember 2011.
No comments:
Post a Comment