Hari itu, Kamis, 17 Nopember 2011, saya bersama 599 guru dan praktisi pendidikan lainnya di Indonesia, sesuai dengan apa yang disampaikan oleh penyelenggara tentang jumlah dan asal peserta, ikut seminar tentang katakter abad 21. Seminar selama dua hari itu diisi oleh orang-orang yang menjadi pelaku dalam praksis pembelajaran karakter di lembaga yang dikelolanya atau juga orang yang menjadi bagian dari pengampu dalam proses pengembangan siswa untuk berbudiperkerti yang baik.
Salah seorang pengisi seminar itu adalah Thomas Lickona dari negeri paman Sam. Saya berkenalan dengan baliau melalui ide dan untaian pengalaman serta hasil penelitiannya, yang dirangkum dalam bukunya berjudul Educating for Character. Lickona mengisi satu sesi bersama pada Kamis, 17 Nopember yang merupakan hari kedua seminar. Menarik dan menginspirasi sekali apa yang disampaikan oleh Profesor ini. Bukan sesuatu yang mengawang-awang di langit, tetapi hal ihwal yang membumi. Yang menganngkut pembelajaran serta intaraksi kita sebagai guru dengan siswa di sekolah. Atau kita sebagai pengelola sekolah dengan seluruh aktivitas pembelajaran yang terjadi di komunitas sekolah. Terutamanya adalah di sekolah dasar dan menengah serta SMA. Kenyataan ini, jika saya bandingkan dengan profesor pendidikan di Indonesia, kok ngak relafan. Karena guru besar pendidikan di Indonesia hampir rata-rata akan berbicara sesuatu yang bagus dan ideal sekali dalam bentuk konseptual.
Selain Thomas Lickona, yang menyanpaikan bagaimana beliau membelajarkan karakter dí lembaganya, juga para pengisi seminar dari Indonesia. Jadi, selain wawasan tentang bagaimana orang lain atau sekolah lain menerepkan pembelajaran karakter di sekolahnya, kami atau saya khususnya banyak memperoleh inspirasi dari forum tersebut. Tentunya inspirasi yang nantinya dapat menjadi pemantik bagi kami di sekolah dalam mengembangkan program yang sudah kami punya tentang pembelajaran karakter untuk lebih baik dan lebih efektif lagi dí masa depan.
Pembelajaran karakter menjadi penting tidak saja karena secara kebetulan kita sedang dirundung isu demoralitas dalam kehidupan masyarakat, tetapi karena moralitas dan karakter itu sendiri adalah inti dari proses pembelajaran yang sesungguhnya. Iní yang dapat kita petik dari yang disampaikan oleh Muhammad SAW. Bahwa tugas utama beliau diutus ke masyarakat adalah untuk memperbaiki akhlak manusia. Akhlak kepada Sang Khalik dan akhlak kepada sesama makhluk.
Dengan demikian, maka kondisi moralitas yang aktual di masyarakat kita sekarang ini, memperteguh dan menebalkan pada kita kembali bahwa pendidikan karakter di sekolah harus menyemai bibit yang unggul akademik yang sekaligus berintegritas moral luhur.
Tantangan Pembelajaran Karakter dí Sekolah
Dalam kegiatan selama dua harí seminar yang saya ikuti tersebut, setidaknya dua bagian besar dalam praktek pembelajaran karakter di sekolah, yang justru dapat menjadi tantangan bagi operasional pelaksanaan pembelajaran. Terdapat dua tantangan yang harus memberikan penyadaran kepada kita bahwa keberhasilan akan pelaksanaan pembelajaran karakter dapat dicapai. Dua bagian tersebut adalah:
Salah seorang pengisi seminar itu adalah Thomas Lickona dari negeri paman Sam. Saya berkenalan dengan baliau melalui ide dan untaian pengalaman serta hasil penelitiannya, yang dirangkum dalam bukunya berjudul Educating for Character. Lickona mengisi satu sesi bersama pada Kamis, 17 Nopember yang merupakan hari kedua seminar. Menarik dan menginspirasi sekali apa yang disampaikan oleh Profesor ini. Bukan sesuatu yang mengawang-awang di langit, tetapi hal ihwal yang membumi. Yang menganngkut pembelajaran serta intaraksi kita sebagai guru dengan siswa di sekolah. Atau kita sebagai pengelola sekolah dengan seluruh aktivitas pembelajaran yang terjadi di komunitas sekolah. Terutamanya adalah di sekolah dasar dan menengah serta SMA. Kenyataan ini, jika saya bandingkan dengan profesor pendidikan di Indonesia, kok ngak relafan. Karena guru besar pendidikan di Indonesia hampir rata-rata akan berbicara sesuatu yang bagus dan ideal sekali dalam bentuk konseptual.
Selain Thomas Lickona, yang menyanpaikan bagaimana beliau membelajarkan karakter dí lembaganya, juga para pengisi seminar dari Indonesia. Jadi, selain wawasan tentang bagaimana orang lain atau sekolah lain menerepkan pembelajaran karakter di sekolahnya, kami atau saya khususnya banyak memperoleh inspirasi dari forum tersebut. Tentunya inspirasi yang nantinya dapat menjadi pemantik bagi kami di sekolah dalam mengembangkan program yang sudah kami punya tentang pembelajaran karakter untuk lebih baik dan lebih efektif lagi dí masa depan.
Pembelajaran karakter menjadi penting tidak saja karena secara kebetulan kita sedang dirundung isu demoralitas dalam kehidupan masyarakat, tetapi karena moralitas dan karakter itu sendiri adalah inti dari proses pembelajaran yang sesungguhnya. Iní yang dapat kita petik dari yang disampaikan oleh Muhammad SAW. Bahwa tugas utama beliau diutus ke masyarakat adalah untuk memperbaiki akhlak manusia. Akhlak kepada Sang Khalik dan akhlak kepada sesama makhluk.
Dengan demikian, maka kondisi moralitas yang aktual di masyarakat kita sekarang ini, memperteguh dan menebalkan pada kita kembali bahwa pendidikan karakter di sekolah harus menyemai bibit yang unggul akademik yang sekaligus berintegritas moral luhur.
Tantangan Pembelajaran Karakter dí Sekolah
Dalam kegiatan selama dua harí seminar yang saya ikuti tersebut, setidaknya dua bagian besar dalam praktek pembelajaran karakter di sekolah, yang justru dapat menjadi tantangan bagi operasional pelaksanaan pembelajaran. Terdapat dua tantangan yang harus memberikan penyadaran kepada kita bahwa keberhasilan akan pelaksanaan pembelajaran karakter dapat dicapai. Dua bagian tersebut adalah:
1. Persepsi Masyarakat terhadap Hasil Belajar
Persepsi masyarakat terhadap hasil pendidikan di sekolah hingga dewasa ini sebagain besarnya masih terletk kepada kompetensi akademik semata. Pintar dan tidak pintar seorang anak diukur hanya dari nilai rapot akademik. Bahkan jika kita melihatnya lebih detik lagi, kepintaran seorang anak di Indonesia hanya dari beberapa mata pelajaran. Keadanaan ini merupakan tantangan terbesar kita (baca: guru dan sekolah) untuk mengembangkan pendidikan karakter di sekolah. Namun justru dari tantangan itulah kita melihatnya sebagai peluang.
Persepsi tersebut hanya sekedar menjadi tantangan semata jikalau dengan demikian maka guru dan sekolah hanya menjadikan persepsi tersebut sebagai ekspektai satu-satunya. Dan dengan itu maka prosesi interaksi guru dan siswa di sekolah hanya akan menjadi interaksi akademik atau interaksi mengajar saja.
Sedang menjadi peluang jika persepsi dan ekspektasi tersebut dilihat dari sisi kreatif guru dan sekolah dalam melihat interaksi guru-siswa di kelas. Yaitu selain interaksi akademik, mereka juga sedang berinteraksi humanistik. Dan dari sisi inilah sekolah tidak akan kehilangan sisi pencapaian akademik dan sekaligus memperoleh sisi humanisme yang dapat melahirkan inspirasi bagi peserta didiknya.
2. Guru sebagai Pemeran Utama dalam Pembelajaran Karakter
Tantangan yang kedua adalah guru. Yaitu kepada sisi kompetensi seorang guru. Yaitu kompetensi guru dalam 'menuangkan ruh' dalam setiap interaksinya dengan siswa atau dengan peserta didiknya. Kompetensi guru pada sisi ini tergolong unik. Mengingat yang tersedia adalah guru-guru dengan kompetensi mengajar saja dan belum mengajar sekaligus mendidik.
Guru yang memiliki kompetensi 'menuangkan ruh' dalam setiap interaksinya dengan siswa bilamana guru tersebut adalah yang berperan sebagai ethical mentor, sebagai care giver, dan sebagai model (Lickona).
Semoga dengan seminar yang saya ikuti itu, dapat menginspirasi saya pribadi untuk mampu mengampu sebagai pengajar dan juga adalah pendidik bagi peserta didik saya. Amin.
Jakarta, 17-22 Nopember 2011.
No comments:
Post a Comment