Saya menemukan empat klasifikasi guru sebagaimana yang dikemukakan oleh Bruder Bambang dI Konferensi Guru Nusantara, KGN, yang berlangsung pada Kamis, 17 Nopember 2011 di Kampus Universitas Katolik Atmajaya Jakarta. Empat klasifikasi guru model Bruder Bambang itu merupakan jawaban dan sekaligus refleksi atas pertanyaan seorang peserta konferensi tentang bagaimana mengatasi teman guru di sekolahnya yang relatif sulit dikendalikan perilakunya.
Sulit dikendalikan dalam arti yang negatif. Oleh karenanya peserta itu mengajukan pertanyaan dan sekaligus menyampaikan keluhan agar Bruder yang menjadi pembicara siang itu memberikan gagasan untuk solusi.
Dalam tulisan ini, tanpa mengurangi makna yang dimaksud, saya membuat istilah yang tersamar dan sedikit berbeda untuk empat klasifikasi guru yang dikemukakan Bruder Bambang tersebut. Tujuannya agar kita dapat memahami dengan lebih enak tanpa merasakan emosi negatif. Keempat klasifikasi guru itu adalah:
Pertama, adalah guru baik secara keilmuan dan bersikap konstruktif kepada organisasi. Yaitu guru yang seluruh kompetensi dimilikinya dengan sangat baik. Selain itu ia adalah sosok yang terbuka untuk menerima tugas sekolah dan melaksanakan amanah yang diembannya dengan baik. Inilah guru yang dalam level kinerja guru memperoleh predikat outstanding atau baik sekali.
Jika guru ini sedikit memiliki jiwa kepemimpinan, maka kita yakini dalam tempo yang tidak terlalu lama, bila di lembaga swasta, Bapak/Ibu guru semacam ini akan mendapat tawaran tambahan. Baik sebagai guru koordinator, wakil kepala sekolah, atau bahkan kepala sekolah. Kesempatan seperti itu penting ntuk guru dengan kualifikasi pertama ini. Karena jika sekolah kurang memperhatikan, sangat boleh jadi lembaga lain yang akan memberikan kesempatan kepadanya untuk mendapat tugas dan amanah yang lebih besar selain hanya sebagai pendidik di dalam kelas.
Kedua, adalah guru baik secara keilmuan dan bersikap destruktif kepada organisasi. Guru dengan model seperti ini, menurut Bruder Bambang, adalah kualifikasi guru yang perlu dan harus sering diajak berdiskusi. Sikap distruktifnya sangat boleh jadi tumbuh karena ketidak adanya komunikasi antara manajemen dengan guru. Juga boleh jadi karena kurangnya informasi yang diperolehnya, sehingga keputusan dan persepsi yang dimilikinya selalu lonjong.
Ketiga, adalah guru kurang secara keilmuan dan bersikap konstruktif kepada organisasi.Ini juga adalah model guru yang perlu mendapat motivasi. Sehingga pada hari-hari berikutnya ia menyadari akan kekurangan yang harus dikejarnya dalam menunaikan tugasnya sehari-hari. Dorongan untuk berkembang harus selalu dipompakan. Bahkan jika dibutuhkan dengan durasi waktu yang dijadikan kesepakatan bersama. Dengan tenggat waktu ini, pihak sekolah akan memungkinkan untuk membuat report secara periodik bagi target guru yang bersangkutan. Kesepakatan juga akan menjadi bagian dari pembelajaran bagi kedua belah pihak.
Keempat, adalah guru lemah secara keilmuan dan bersikap destruktif kepada organisasi. Guru dengan kualifikasi seperti ini adalah guru yang kurang mensyukuri apa yang telah dimilikinya atau kesempatan yang telah diberikan kepadanya. Ketidaksyukuran itu menjadikannya sulit untuk tumbuh dan berkembang. Tugas kita sebagai manajemen di sekolah adalah tetap memberikan dorongan kepada mereka namun dengan durasi dan ekspektasi yang lebih kongkrit dan jelas.
Pendek kata, tidak ada suatu lembaga seklolah dimanapun yang tidak memiliki empat model atau empat kualifikasi guru atau tenaga kependidikan yang mirip-mirip dengan apa yang menjadi pendapat Bruder Bambang itu. Setidaknya dalam cita rasa yang sedikit berbeda.
Jakarta, 17-24 Nopember 2011.
No comments:
Post a Comment