Asli, ini istilah saya dapatkan dari teman satu ruangan di kantor saya yang lama. Ada beberapa istilah yang saya dapat ingat yang menjadi trade mark-nya selama empat tahun setengah kami satu kantor dan berhimpitan tanggung jawab. Maklum, saat itu saya sebagai Upper Primary Principal dan dia Expatriate Primary Principal. Jadi berdempetan tanggung jawab kami. Istilah take the glory ini menjadi kesimpulannya ketika saat ada seseorang yang selalu tampil di depan manakala sukses di dapatnya atau kelasnya raih. Dan biasanya mereka mengkomunikasikan dengan berbusa-busa. Istilah untuk mereka yang tidak ada matinya ketika harus tampil untuk keberhasilan temannya sekalipun. Tanpa rasa sungkan dan malu lagi, ia akan berdiri di depan.
Tokoh ini hanya mengakui keberhasilan, yang seolah-olah menjadi usaha kerasnya sendiri, tanpa mengakui kontribusi orang lain. Mungkin dalam kamusnya, keberhasilan adalah dirinya dan orang disekitarnya cukup sebagai pelengkap. Sedang ketidakberhasilan semua merupakan akibat dari orang lain. Tidak adil memang, tapi itulah kenyataan dari perilaku model manusia ini. Ungkapan teman itu pertama sekali saya dengar manakala ada staf kami yang berperilaku seprti itu dalam menyikapi performa kerjanya. Maka lahirnya julukan take the glory untuk perilaku yang dia tampilkan tersebut.
Istilah lain yang masih saya ingat antara lain adalah; The drama queen. Ini istilah untuk mereka yang ketika di depan kita selalu manis dan legit luar biasa. Namun di saat dan situasi berbeda, atau ketika berada di belakang kita, ia akan menyampaikan sesuatu yang buruk tentang kita di hadapan temannya. Mungkin singkat katanya adalah manis di depan kita dan tidak saat di belakang kita. Tapi karena sudah karakter, maka dua peran yang saling berlawanan itu selalu apik dijalaninya. Itulah the drama queen.
Take the Glory
Dalam perjalanan hidup saya berikutnya, saya masih dan selalu bertemu dengan dua sosok yang memiliki karakter sebagaimana saya sebutkan di atas. Tentu dengan kapasitas dan corak yang berbeda. Namun tetap dengan esensi sama.
Baru-baru ini misalnya, menimpa pada sahabat karib saya. Dimana dia marah terhadap seseorang karena telah berkontribusi pada lahirnya masalah di kantor. Padahal jika dirunut, masalah yang lahir tersebut menjadi bagian paling inheren yang harus ditanganinya. Namun anehnya, justru orang dan pihak atau bagian lain yang menjadi caci makinya. Maka teman saya bertanya balik kepadanya untuk 'menyehatkan' pikirannya dikala amarah sedang berkecamuk. Bukankah Andalah pemimpin untuk bagian yang tengah dilanda masalah itu? Mengapa harus menunjuk orang lain? Apakah seperti itu cara penyelesaian masalahnya?
Sebuah pertanyaan yang mungkin bermakna mendalam bila kita adalah staf atau pemimpin yang memang siap berkarya untuk situasi yang kondusif atau tidak. Karena hanya jenis manusia seperti itu yang keberhasilannya akan menjadi paripurna. Sedang bagi siapa saja yang hanya siap berkarya dan sukses dalam arena yang kondusif saja, maka ketahuilah bahwa sekeliling kita sesungguhnya sedang menertawakan kita. Tentu tanpa kita sendiri menyadarinya. Karena penyakit dari perilaku take the glory itu. Penyakit gila kedudukan atau juga gila hormat.
Jakarta, 15 Mei 2011.
No comments:
Post a Comment