Berikut adalah cerita tentang HP siswa di sekolah saya. Dan darinya, daya melihat dengan terang benderang bagaimana sosok yang menjadi panutan dan teladannya. Oleh karenanya, dari telepon seluler yang digunakan siswa saya di sekolah itu, saya melihat dan bisa bisa belajar katakter baik dan buruk. Tentu dari jenis seluler yang digunakannya serta cara pandangnya terhadap alat komunikasi nir kabel itu.
Sesuatu yang saya sendiri akhirnya dapat menghargai dan sekaligus mensyukuri apa yang menjadi karunia Allah Kepada saya dan keluarga. Itulah sekelimut motivasi mengapa saya harus menuliskan tentang hal ini. Khususnya yang berkenaan dengan jenis dan merek HP mereka dan bagaimana mereka memperlakukan serta menggunakannya. Meski saya hanya melihatnya dari lingkungan sekolah.
Sebagai guru, terus terang kadang saya cemburu dengan alat komunikasi seluler yang mereka pakai. Dan rasa cemburu itu tidak saja pada saat ini, tetapi sejak saya melihat bahwa siswa SMP kami diizinkan membawa HP ke sekolah, meski ditambahi syarat bahwa, selama jam sekolah HP-HP itu disimpan oleh guru kelas. Dan akan dikembalikan kembali setelah jam usai belajar sebelum siswa pulang.
Rasa iri kepada jenis HP yang sebagian siswa pakai itu, karena mereka menggunakan jenis seluler yang terkini dan jauh lebih modern dibanding yang saya pakai atau guru-guru pakai. Meski harus diakui bahwa kelas ekonomi kami memang berbeda. Pernah, suatu saat dulu, ketika saya melihat siswa sedang memainkan komunikator di halaman sekolah sesudah jam sekolah, rasa iri itu terbit. Dan saya meresa jauh tertinggal. Karena jenis HP itu adalah impian saya. Ini karena sesuai dengan kebutuhan saya dalam berkomunikasi dan membuat catatan dimanapun saya berada dan kapan saja. Namun impian itu sudah menjadi sejarah. Karena hingga kini belum juga terlaksana sementar jenis alat komunikasi itu sudah tidak produksi lagi.
Numun dilain pihak, saya juga kagum dengan sebagian dari mereka yang oleh orangtuanya dibekali alat komunikasi dengan tanpa kamera, tanpa koneksi internet. Seluluer dengan hanya memiliki fungsi pokoknya saja; telepon dan sms. Dan ini hanya sebagian kecilnya saja. Apakah siswa yang sebagain kecil itu menjadi tidak percaya diri ketika harus memegang seluler yang ‘berbeda’ dengan apa yang diopergunakan oleh teman-temannya yang canggih itu? Tidak sama sekali. Siswa itu tetap mengeluarkan selulernya di lapangan sekolah sebagai alat berkomunikasi tanpa rasa minder sedikitpun.
Sebagai ilustrasi rasa percaya diri itu, saya punya ceritanya. Suatu saat, dimana saya menjadi salah satu dari ‘pengawal’ anak-anak itu dalam perjalan perpisahan menjelang kelulusannya ke Yogyakarta dengan menumpang kereta api. Menjelang masuk kota Yogyakarta, seorang siswa tampak mengeluarkan HP ‘lokal’nya dan bertanya kepada saya yang duduk tidak jauh darinya;
· Bapak tahu ngak kode untuk Yogyakarta?
· Maaf, Pak Agus tidak tahu. Jawab saya.
· Kalau Yogyakarta pakai j atau y ya Pak?
· Pakai y. Yogyakarta. Kata saya.
· Terima kasih Pak Agus.
Saya kagum luar biasa dengan anak itu. Tidak lain karena percaya dirinya mengeluarkan HP ‘lokal’nya itu. Dua tahun sudah Ia meninggalkan bangku sekolah kami, dan saya sungguh merindukannya. Apakah ia sendirian? Tidak. Masih ada beberapa banyak diantara siswa kami sekarang ini yang memiliki prinsip hidup sederhana sepertinya.
Sebagai remaja yang tetap eksis dengan barang sederhana yang dimilikinya diantara berang-barang yang tergolong mewah yang dimiliki oleh sebagian besar temannya, adalah sebuah perilaku yang lahir tidak dengan sekonyong-konyong. Ia pasti lahir dari teladan yang juga tangguh dalam kesederhanaan dari rumah mereka masing-masing. Itulah yang saya maksud dengan dari HPnya, saya bisa melihat sosok yang diteladaninya di rumah. Pertanyaan saya; bagaimana dengan kita? Model apakah teladan yang kita berikan kepada putra-putri kita di rumah?
Cibodas, 11 Mei - Jakarta, 13 Mei 2011.
No comments:
Post a Comment