Beberapa hari lalu saya membaca surat pembaca di sebuah harian berkenaan dengan kemacetan yang semakin menjadi di wilayah Slipi Palmerah. Khususnya arah Semanggi-Tomang atau arah sebaliknya. Lebih-lebih setelah adanya bus Transjakarta. Begitu lebih kurangnya keluhannya. Ia pun memberikan usulan. Antara lain agar meniadakan putar arah yang ada di Slipi untuk arus dari Harapan Kita yang akan menuju ke Slipi Jaya. Selain juga agar memindahkan pintu gerbang jalan Tol Slipi untuk arah Tomang. Karena GT Tol ini terlalu dekat dengan perempatan lalu linta yang terhitung padat.
Apa yang pembaca sampaikan ini, saya juga mengalaminya. Tentu ketika saya harus mengendari kendaraan sendiri. Butuh waktu, tenaga, mungkin juga biaya, dan juga emosi yang tidak terduga hanya untuk menempuh ruas jalur jalan dari pintu keluar tol Senayan (depan Gedung DPR/MPR) hingga sampai rumah yang ada di sekitar 700 meter dari perempatan lampu lalu lintas Slipi tersebut. Oleh karenanya, dengan apa yang disampaikan pembeca dalam surat pembaca itu, saya sangat setuju.
Namun karena beberapa hal yang mendukung, saya justru berpikir berbeda. Sekali lagi mungkin kondisi saya yang mendukung. Baik kondisi jarak rumah ke jalan yang macet tersebut, yang lebih kurang berjaran paling jauh 700 meter. Juga kondisi fisik dan paradigma, barangkali. Oleh karenanya, saya kadang memilih pergi pulang kantor dengan menumpang bus Transjakarta, yang disebutkan oleh pembaca tersebut sebagai pemberi andil paling besar dalam kemacetan. Dan dari pengalaman berada di dalam bus Transjakarta pada saat jalanan macet, memberikan kepada saya jalan pikiran yang lain.
Jalan pikiran itu adalah, ada atau tidak adanya bus Transjakarta, yang memiliki kontribusi kemacetan karena 'menguasai' jalan, dalam dua sisi. Yaitu menguntungkan atau merugikan.
Menguntungkan
Tentu bagi Anda yang berada di dalam bus Transjakarta saat jalanan mecet. Karena jalanan Anda akan tetap terjamin atau sedikitnya terbebas dari kepadatan atau bahkan kemacetan. Anda akan merasakan betapa nikmatnya menjadi penumpang Trans. Lebih-lebih jika Anda mengkontraskan dengan ruas non bus way. Terlebih jika pada saat nanti jumlah bus memenuhi kesesuaian dengan jumlah penumpangnya.
Selain murah juga akan jauh lebih cepat. Dan itu berujung kepada nilai ekonomi. Termasuk juga kontribusinya kepada kesehatan jiwa dan raga kita. Bahkan Anda masih bisa untuk lebih kreatif. Misalnya dengan membawa serta sepeda lipat Anda. Yang memungkinkan Anda genjok untuk menempuh jarak menuju halte bus atau menuju kator atau rumah setelah dari halte bus.
Merugikan
Tentu ketika kita mengendarai kendaraan pribadi atau mungkin jika kita menaiki taksi. Karena jalanan yang hanya tiga lajur menjelang pintu gerbang jalan tol Slipi menuju Tomang, harus diambil satu lajur khusus untuk bus way. Belum lagi jika ada bus kota yang menurunkan atau menaikkan penumpang di sisi itu.
Terlebih, karena kondisi yang membuat sesak napas itu, masih kita kaitkan dengan harga bahan bakar yang harus kita pakai (harus, karena kita tidak punya pilihan untuk memakai bahan bakar yang mengakibatkan kerusakan pada salah saatu komponennya), juga iuran pajak yang harus juga kita bayarkan. Situasi yang menyesakkan itu akan berkontribusi besar kepada kesehatan jiwa dan raga kita.
Menilik itu semua, saya sendiri memformat pola saya dalam menghadapi kenyataan yang semakin berat itu dengan lebih rileks. Yaitu dalam bentuk mengambil pilihan yang paling membuat diri saya untung. Pilihan ini saya ambil agar saya terhindar dari penyakit yang menyalahkaan keadaan di luar diri saya. Sebuah fenomenon yang memang saya sendiri tidak mampu merubahnya.
Jakarta, 3 Februari 2011.
Apa yang pembaca sampaikan ini, saya juga mengalaminya. Tentu ketika saya harus mengendari kendaraan sendiri. Butuh waktu, tenaga, mungkin juga biaya, dan juga emosi yang tidak terduga hanya untuk menempuh ruas jalur jalan dari pintu keluar tol Senayan (depan Gedung DPR/MPR) hingga sampai rumah yang ada di sekitar 700 meter dari perempatan lampu lalu lintas Slipi tersebut. Oleh karenanya, dengan apa yang disampaikan pembeca dalam surat pembaca itu, saya sangat setuju.
Namun karena beberapa hal yang mendukung, saya justru berpikir berbeda. Sekali lagi mungkin kondisi saya yang mendukung. Baik kondisi jarak rumah ke jalan yang macet tersebut, yang lebih kurang berjaran paling jauh 700 meter. Juga kondisi fisik dan paradigma, barangkali. Oleh karenanya, saya kadang memilih pergi pulang kantor dengan menumpang bus Transjakarta, yang disebutkan oleh pembaca tersebut sebagai pemberi andil paling besar dalam kemacetan. Dan dari pengalaman berada di dalam bus Transjakarta pada saat jalanan macet, memberikan kepada saya jalan pikiran yang lain.
Jalan pikiran itu adalah, ada atau tidak adanya bus Transjakarta, yang memiliki kontribusi kemacetan karena 'menguasai' jalan, dalam dua sisi. Yaitu menguntungkan atau merugikan.
Menguntungkan
Tentu bagi Anda yang berada di dalam bus Transjakarta saat jalanan mecet. Karena jalanan Anda akan tetap terjamin atau sedikitnya terbebas dari kepadatan atau bahkan kemacetan. Anda akan merasakan betapa nikmatnya menjadi penumpang Trans. Lebih-lebih jika Anda mengkontraskan dengan ruas non bus way. Terlebih jika pada saat nanti jumlah bus memenuhi kesesuaian dengan jumlah penumpangnya.
Selain murah juga akan jauh lebih cepat. Dan itu berujung kepada nilai ekonomi. Termasuk juga kontribusinya kepada kesehatan jiwa dan raga kita. Bahkan Anda masih bisa untuk lebih kreatif. Misalnya dengan membawa serta sepeda lipat Anda. Yang memungkinkan Anda genjok untuk menempuh jarak menuju halte bus atau menuju kator atau rumah setelah dari halte bus.
Merugikan
Tentu ketika kita mengendarai kendaraan pribadi atau mungkin jika kita menaiki taksi. Karena jalanan yang hanya tiga lajur menjelang pintu gerbang jalan tol Slipi menuju Tomang, harus diambil satu lajur khusus untuk bus way. Belum lagi jika ada bus kota yang menurunkan atau menaikkan penumpang di sisi itu.
Terlebih, karena kondisi yang membuat sesak napas itu, masih kita kaitkan dengan harga bahan bakar yang harus kita pakai (harus, karena kita tidak punya pilihan untuk memakai bahan bakar yang mengakibatkan kerusakan pada salah saatu komponennya), juga iuran pajak yang harus juga kita bayarkan. Situasi yang menyesakkan itu akan berkontribusi besar kepada kesehatan jiwa dan raga kita.
Menilik itu semua, saya sendiri memformat pola saya dalam menghadapi kenyataan yang semakin berat itu dengan lebih rileks. Yaitu dalam bentuk mengambil pilihan yang paling membuat diri saya untung. Pilihan ini saya ambil agar saya terhindar dari penyakit yang menyalahkaan keadaan di luar diri saya. Sebuah fenomenon yang memang saya sendiri tidak mampu merubahnya.
Jakarta, 3 Februari 2011.
No comments:
Post a Comment