Benar. Jangan ajari saya untuk toleransi. Sikap ini bedasarkan pada dua argumentasi. Pertama, karena sangat boleh jadi pemahaman Anda tentang toleransi berbeda dengan apa yang saya pahami. Sehingga tidak akan ada titik temu atau tidak ada yang dapat mempertemukan kita pada satu titik yang sama untuk disepakati.
Kedua, karena boleh jadi juga Anda meneriaki saya tidak memiliki rasa toleran karena Anda menyimpan maksud tersembunyi. Misalnya, Anda mengajak saya untuk sebuah toleransi sebagai tahap awal agar saya juga pada akhirnya menyatakan bahwa semua agama sama. Oleh Karenanya, tak perlu ajari saya untuk bertoleransi seperti apa yang Anda maui.
Tentang Siapa Saya
Sekedar untuk pengetahuan Anda saja. Saya Islam yang lahir dari ayah dan Ibu Islam. Jika melihat silsilah keluarga dari ayah, dari 5 bersaudaranya ada tiga non Muslim dan dua Muslim. Jadi satu bude saya dan dua bulek saya non Muslim. Kami bersaudara akrab. Kalau ada bulek saya yang non Muslim sedang ada ketidakenakan dengan kakaknya yang seagama, Maka bulek saya akan lari ke Ibu saya untuk curhat. Begitu juga bude. Jadi Ibu saya yang Muslim adalah lumbung pengaduan mereka.
Dan perlua Anda garis bawahi bahwa, selama pergaulan kami yang hingga kini rukun-rukun saja, tidak pernah terdengar di telinga kami masing-masing percakapan berkenaan dengan agama. Kami tidak pernah meyatakan bahwa agama kami paling baik di telinga mereka. Demikian juga mereka di telinga kami.
Mungkin karena pengaruh keluarga seperti itu, juga pastinya karena pilihan kami juga, maka saya pun melanjutkan sekolah di lembaga pendidikan yang berafiliasi pada agama bude dan bulek saya. Hingga akhirnya saya sekarang dapat lebih memahami agama yang saya anut dengan lebih baik.
Perlu juga saya sampaikan disini tentang pengalaman berikutnya di tempat kerja. Dimana saya menjadi kepala sekolah yang menampung lima agama. Yang pada suatu masa, saya ditunjuk untuk menjadi 'menteri agama'nya. Itu sebutan keren saya untuk jabatan saya sebagai koordinator agama di sekolah saya itu. Dan alhamdulillah saya dapat memayungi kegiatan agama tersebut dengan baik. Meski pada waktu itu terjadi pula insiden perebutan TOA di Hari Jumat menjelang shalat jumat.
Dari pengalaman hidup saya yang tidak terlalu berwarna itu, saya meyakinkan diri untuk berpendapat bahwa saya tak perlu lagi dikuliahi tentang bagaimana bertoleransi.
Pernah pada juga waktu menjadi koordinator agama tersebut. seorang teman guru mengusulkan agar dalam perayaan hari besarnya, keikutsertaan masing-masing tidak saja hanya pada saat makan bersamanya saja, tetapi sejak awal. Dan kepadanya saya katakan; Apakah Anda cukup merasa nyaman bilamana Anda ikutserta dalam acara halal bil halal hingga shalat dzuhurnya dimana Anda ikut serta dalam barisan kami shalat?
Dari pernyataan saya itu teman saya akhirnya memahami bahwa toleransi hanya ada dalam ranah sosial. Domein horizontal. Dan bukan pada hubungan vertikal antara mahkhluk dengan Khalik-nya. Dan dari situ pula ia memahami apa yang saya nyatakan untuk tidak mengajari saya tentang bagaimana harus bertoleransi dalam wilayah vertikal!
Jakarta, 14 Februari 2010.
Kedua, karena boleh jadi juga Anda meneriaki saya tidak memiliki rasa toleran karena Anda menyimpan maksud tersembunyi. Misalnya, Anda mengajak saya untuk sebuah toleransi sebagai tahap awal agar saya juga pada akhirnya menyatakan bahwa semua agama sama. Oleh Karenanya, tak perlu ajari saya untuk bertoleransi seperti apa yang Anda maui.
Tentang Siapa Saya
Sekedar untuk pengetahuan Anda saja. Saya Islam yang lahir dari ayah dan Ibu Islam. Jika melihat silsilah keluarga dari ayah, dari 5 bersaudaranya ada tiga non Muslim dan dua Muslim. Jadi satu bude saya dan dua bulek saya non Muslim. Kami bersaudara akrab. Kalau ada bulek saya yang non Muslim sedang ada ketidakenakan dengan kakaknya yang seagama, Maka bulek saya akan lari ke Ibu saya untuk curhat. Begitu juga bude. Jadi Ibu saya yang Muslim adalah lumbung pengaduan mereka.
Dan perlua Anda garis bawahi bahwa, selama pergaulan kami yang hingga kini rukun-rukun saja, tidak pernah terdengar di telinga kami masing-masing percakapan berkenaan dengan agama. Kami tidak pernah meyatakan bahwa agama kami paling baik di telinga mereka. Demikian juga mereka di telinga kami.
Mungkin karena pengaruh keluarga seperti itu, juga pastinya karena pilihan kami juga, maka saya pun melanjutkan sekolah di lembaga pendidikan yang berafiliasi pada agama bude dan bulek saya. Hingga akhirnya saya sekarang dapat lebih memahami agama yang saya anut dengan lebih baik.
Perlu juga saya sampaikan disini tentang pengalaman berikutnya di tempat kerja. Dimana saya menjadi kepala sekolah yang menampung lima agama. Yang pada suatu masa, saya ditunjuk untuk menjadi 'menteri agama'nya. Itu sebutan keren saya untuk jabatan saya sebagai koordinator agama di sekolah saya itu. Dan alhamdulillah saya dapat memayungi kegiatan agama tersebut dengan baik. Meski pada waktu itu terjadi pula insiden perebutan TOA di Hari Jumat menjelang shalat jumat.
Dari pengalaman hidup saya yang tidak terlalu berwarna itu, saya meyakinkan diri untuk berpendapat bahwa saya tak perlu lagi dikuliahi tentang bagaimana bertoleransi.
Pernah pada juga waktu menjadi koordinator agama tersebut. seorang teman guru mengusulkan agar dalam perayaan hari besarnya, keikutsertaan masing-masing tidak saja hanya pada saat makan bersamanya saja, tetapi sejak awal. Dan kepadanya saya katakan; Apakah Anda cukup merasa nyaman bilamana Anda ikutserta dalam acara halal bil halal hingga shalat dzuhurnya dimana Anda ikut serta dalam barisan kami shalat?
Dari pernyataan saya itu teman saya akhirnya memahami bahwa toleransi hanya ada dalam ranah sosial. Domein horizontal. Dan bukan pada hubungan vertikal antara mahkhluk dengan Khalik-nya. Dan dari situ pula ia memahami apa yang saya nyatakan untuk tidak mengajari saya tentang bagaimana harus bertoleransi dalam wilayah vertikal!
Jakarta, 14 Februari 2010.
No comments:
Post a Comment