Pernahkah terpikir oleh kita jika ada pembaharuan atau sedikit perubahan dari apa yang telah menjadi kebiasaan kita, maka beberapa teman kita merekomendasikan kepada pimpinan atau jika di sekolah maka kepada kepala sekolah kita, agar perubahan atau pengembangan tersebut dilakukan terlebih dulu adalah kepada yang muda saja? Jika belum, inilah cerita saya. Tetapi jika sudah, ada baiknya cerita saya sebagai pembanding dari apa yang pernah Anda dengar, lihat atau bahkan mungkin alami.
Sebagai bagian dari golongan yang boleh dikatakan senior, saya sering iri hati kepada teman-teman yang junior. Betapa tidak, teman-teman junior saya ini jauh lebih pintar dari saya. Buktinya? Mereka sejak muda terus saja sekolah hingga menamatkan sarjananya di perguruan tinggi negeri yang prestisius. Banyak diantara mereka justru dari PTN non kependidikan. Namun karena begitu menggebunya rasa dan keinginannya untuk menjadi guru, maka rela mereka mengejar akta IV yang semula menjadi syarat mutlaknya menjadi guru. Satu hal yang saya harus akui bahwa saya kalah. Karena untuk melanjutkan kuliah, saya harus bekerja lebih dulu. Dan itupun bukan PTN.
Saya juga iri dengan junior saya, karena rata-rata mereka menguasai bahasa asing. Ketika saya bertanya dari mana mereka belajar bahasa itu? Mereka menjawab dari pergaulan dan sedikit kursus diwaktu masih duduk di bangku SD atau SMP. Nah!
Dan sebagai generasi lebih muda dari kami, mereka juga bergaul erat dengan teknologi informasi. E-mail, facebook, twitter dan bahkan blog, bukan barang yang asing buat mereka. Apalagi dengan key board komputer. Sedang kami, para seniornya yang telah berkepala 4 ke atas, harus berjuang keras untuk meruntuhkan mentalitas gampang menyerah hanya untuk mampu dan dapat menyesuaikan dengan apa yang mereka telah miliki. Oleh karenanya, hanya sebagian dari kami yang mampu bersaing secara setara dengan mereka.
Dan yang sebagian dari itulah yang kadang masih secara kuat mempertahankan budaya 'pintar'nya, yang antara lain dalam bentuk rekomendasi kepada kepala sekolah agar perubahan cara pembelajaran dilakukan dari yang muda dulu. Dari yang junior dulu. Yang senior? Nanti mengikuti dari belakang. Benarkah?
Yang seringnya terjadi justru, yang muda tidak berani meninggalkan apa yang telah dicontohkan oleh yang senior. Implikasi berikutnya adalah perubahan masih manjadi dokumen tertulis yang cantik dan memesonakan. Namun baru pada tataran pengetahuan dan belum pada tataran aplikasi.
Namun, bagaimana dengan pengalaman Anda?
Jakarta, 18 Juni 2010.
No comments:
Post a Comment