Pada suatu malam, saya terlibat diskusi dengan sahabat berkenaan dengan pengumuman hasil Ujian Nasional SMA dan SMP sederajat, dan fenomena cara siswa dalam memberikan tanggapan hasil UNnya. Diskusi tidak berkait dengan pro kontra pelaksanaan UN atau menurunnya hasil UN tahun 2010 ini dibanding tahun-tahun sebelumnya, yang merupakan hasil terendah, tetapi tentang hal yang berkenaan para siswanya yang menjadi peserta UN.
Sahabat saya menyampaikan rasa prihatinnya bahwa ada beberapa siswa yang gagal dalam UN menanggapinya dengan perilaku yang tidak selayaknya dilakukan oleh orang yang sedang mengalami kegagalan. Terlebih bahwa kegagalan UN tahun 2010, belum merupakan kegagal final. Mengingat masih ada UN Ulangan untuk mereka yang gagal dalam UN Utama.
Dan dengan pemahaman yang demikian, maka sikap marah-marah, berteriak-teriak karena rasa kecewa yang teramat sangat, bahkan hingga merusak fasilitas yang ada sebagai bentuk sikap kecewa, merupakan perilaku yang tidak santun, kurang mawas diri dan merupakan bentuk perilaku yang tidak tahu diri. Terlebih ada yang karena malunya tidak lulus dalam UN Utama itu meski hanya disebabkan oleh satu nilai mata pelajaran, hingga sikap fatal yang dipilihnya sebagai solusi, yaitu bunuh diri.
Apakah begitu sakralnya atau begitu mulianya UN ini, sehingga jika hasil yang diperolehnya gagal maka harus mengakhiri hidup sebagai cara penyelesaiannya? Mengapa begitu pendek cara berpikir remaja itu? Betapa tidak siapnya remaja kita ketika menemui kebuntuan, kegagalan atau kesulitan. Mereka seperti hanya siap untuk berhasil, lulus, sukses, dengan tanpa mau berkalkulasi tentang ikhtiar yang dijalaninya. Siap menjadi pemenang dan tidak untuk menjadi pekalah.
Dari fenomena yang ada itu, setidaknya ada dua hal yang dapat kami petik sebagai hal penting dalam catatan refleksi. Pertama; Bahwa pendidikan kita masih belum membelajarkan bagaimana menghadapi kegagalan. Hasil pendidikan yang kita lakukan di kelas-kelas, hingga detik ini masih mengajarkan bagaimana untuk berhasil. Tapi masih jauh dari menyiapkan generasi yang siap gagal. Atau setidaknya generasi yang siap untuk menemukan solusi dalam kesulitan, kebuntuan, atau bahkan kegagalan yang dihadapinya. Bagaimana untuk memiliki mental problem solver.
Karena sesungguhnya berhasil dan gagal adalah dua sisi mata uang yang akan selalu ada dalam setiap akhir ikhtiar kita. Dan bukan berhasil dan gagalnya yang paling pokok yang harus kita hadapi. Tetapi lebih dari bagaimana kita mensikapi dua fenomena itu.
Kedua; Pendidikan kita di sekolah sekarang ini adalah pendidikan untuk generasi yang serba gampang. Model generasi ini adalah kemudahan yang luar biasa bagi kehiduopannya. Karena kemudahan itulah justru membuat mereka menjadi bukan pekerja keras.
Mengapa harus bekerja keras? Bukankah semua yang diinginkan dapat dicapai tanpa harus berusaha keras? Sejak kebutuhan yang dari rumah, berupa sandang, pangan dan fasilitas pribadi seperti telepon seluler, semua terpenuhi tanpa harus berjuang untuk mendapatkannya. Kondisi demikian telah dan terlanjur terbentuk. Perilaku ini menjadi bertambah subur karena prinsip sebagian orangtua terhadap anaknya: Biarlah anak saya tidak perlu susah lagi sekarang, sebagaimana saya dulu saat seusia mereka.
Bahkan dalam kasus tertentu yang lain, untuk lulus UN pun tidak harus belajar. Karena esok pagi menjelang masuk kelas dan mengisi lembar jawaban, kunci jawaban telah sampai pada mereka dalam bentuk sms?
Namun betapapun fenomena remaja seperti itu tidak terjadi pada setiap remaja. Banyak sekali remaja kita yang tetap memiliki visi dan prioritas hidup yang maju. Ia adalah remaja-rejama mandiri yang faham akan masa depannya. Bahwa usahanya sekarang adalah bentuk investasi bagi keberhasilan dirinya di masa depan.
Cipete-Jakarta, Selasa, 27 April-10 Mei 2010
No comments:
Post a Comment