Semestinya saya pasang wajah tersinggung atau langsung berkomentar: "Maaf, saya tidak membutuhkan masukan Anda hari ini." Tapi mungkin karena saya sedang rendah hjati atau justru malah rendah diri, kalimat itu tidak terucap dan hanya nyangkut di kerongkongan saya, dan kembali masuk dalam dunia ide bersamaan dengan saya menelan ludah.
Mengapa saya pantas tersinggung? Karena setiap menuliskan sesuatu, baik pengalamannya atau hasil observasinya, saya merasakan sentilan yang luar biasa. Sentilan yang mengandung emosi negatif terhadap apa yang dibuat orang lain. Merasa dirinya paling benar atau bahkan mungkin paling pintar atau justru merasa bahwa dirinya standar kebenaran dan kepintaran itu sendiri. Bah!
Dan pada saat yang sama maka dirinya akan melihat dan memposisikan saya sebagai obyek yang tidak selevel dengannya. Oleh karenanya, kritikan dan masukan yang disampaikannya tidak lebih dari cacian pada diri saya yang membuat saya kurang bersimpati.
Pada saat yang sama juga, saya tidak sedang membela diri atas temuannya. Yang mungkin dengan temuan itu akan menjadi bagian dari titik tolak bagi perbaikan diri saya di masa mendatang. Namun cara dan sudut pandang yang diambilnya dan dijadikannya acuan kritikannya, membuat saya tidak legowo.
Jangankan pada tulisan yang dibuatnya. Dalam komentar-komentar yang ditulisnya atas apa yang oranglain buat pun, selalu nyinyir bernada merendahkan atau juga meremehkan. Dan tidak jarang justru memukul balik.
Dan ketika saya mencoba untuk memberikan pengertian kepadanya, senyum sinis sebagai balasannya. Saya sempat berpikir; kapan dan bagaimana caranya orang ini nanti akan disadarkan oleh Yang Maha Pemberi Kesadaran? Atau mungkin dengan cara sebagaimana yang Band Cokelat gambarkan dalam lirik lagunya yang berjudul Karma? Allah-lah yang Maha Mengetahui apa yang menjadi rahasia di bumi dan di langit. Meski saya tidak berharap model kesadarannya sebagaimana cerita dalam lagu itu, namun setidaknya akan ada masanya nanti dia memiliki lebih banyak lagu tenggang rasa dan pemahaman bahwa dia hidup bersama-sama dengan orang lain yang butuh juga penghormatan dari dirinya. Semoga.
Terakhir yang saya dapatkan adalah tulisannya mengenai bagaimana semestinya berperilaku terhadap anak. Dia sampaikan semestinya di sekolah anak tidak hanya dicekoki dengan ilmu pengetahuan akademik an sich. Atau katanya dalam kalimat yang lain: Seyogyanya kita mesti melihat pendidikan anak di sekolah tidak selalu dengan kaca mata akademik?
Mengapa saya menjadi tersinggung dengan apa yang disampaikannya itu? Bukankah itu yang selalu saya katakan dan saya serta teman-teman lain lekukan di sekolah yang kami cintai ini? Apakah stetmen kami bahwa Ujian Nasional bukanlah satu-satunya hasil belajar, yang juga kami deklarasikan dalam Buku Panduan Sekolah, jelas-jelas menyatakan hal itu? Bukankah kami di sekolah benar-benar telah mengejawantahkan keyakinan kami tersebut dalam bentuk komitmen perilaku tentang keterampilan lain selain keterampilan akademik seperti sekolah kebanyakan?
Saat saya menuliskan ini, saya masih berpikir untuk mengalah. Bagaimana jika Anda adalah saya?
Jakarta, 5 Mei 2010
No comments:
Post a Comment