Ini adalah ungkapan yang saya dengar dari Bapak Drs. Kamsul Abraha, Ph.D. dari UGM, yang bertemu saat mengisi sebuah seminar pendidikan di Sekolah Islam Terpadu Al Furqon, Palembang, pada Sabtu, 27 Februari 2010 lalu. Dua kata yang bermakna saling bertolak belakang.
Hal ini berkaitan dengan apa yang saya sampaikan sebelumnya bahwa seorang guru hanya mampu berperan sebagai pembina moral atau perilaku baik di kelas bilamana guru tersebut mampu dan tuntas melakukan tiga (3) peran utamanya sebagaimana yang Thomas Lickona sebutkan (Lickona.1992.Educating for Charakter). Ketiga peran itu adalah: (1). Guru sebagai pengajar atau ethical mentor; (2). Guru sebagai pendidik atau caregiver; dan (3). Guru sebagai teladan atau model.
Nah, pas menyebutkan fungsi guru yang selain mengajar adalah juga teladan, Pak Kamsul memperbandingkan kata teladan dengan telatan. Telatan berasal dari kata telat (kata serapan dari Bahasa Jawa) yang berarti terlambat (termasuk terlambat sampai di kantor).
Teladan VS Telatan
Untuk pemaknaan dari fungsi guru sebagai teladan dan bukan telatan, tampaknya kita yang berlatar belakang sebagai guru di sekolah memiliki cita rasa yang sama. Terutama kata teladan. Dimana semua hal yang berkait dengan apa yang guru lakukan, maka akan menjadi acuan perilaku bagi siswa. Dan semakin muda usia siswa, maka semakin giat pula pemodelan yang dilakukan siswa.
Berat? Inilah salah satu resiko atau konsekuensi sebagai guru. Tetapi saya justru melihatnya sebagai sesuatu yang positif. Betapa tidak? Jika guru melakukan sesuatu yang tidak sesuai norma, maka bukankah siswa akan menjadi korektor. Yang tidak sungkan-sungkan akan memberikan sinyal kepada kita tentang apa yang semestinya terjadi? Siswa menjadi semacam cermin yang jujur. Dan bukankah hal ini menjadikan diri kita semakin hari menjadi semakin lebih baik? Dan jika demikian maka bukankah ini persis sama dengan apa yang Rasulullah kabarkan bahwa hidup harus berarti pula untuk memperbaiki akhlak?
Bagaimana dengan telatan? Guru yang telatan ini juga adalah guru yang sedang memberikan teladan tidak baik. Apakah itu telat datang di pagi hari atau telat datang saat jam belajarnya di kelas.
Biasanya, guru yang telatan akan memiliki satu bab agumentasi yang berisi kalimat permohonan maaf kepada atasan atau juga kepada teman yang menganntikannya di kelas. Misalnya saja telat karena alasan macet. Telat karena busnya mogok. Telat karena adanya kecelakaan di jalan raya yang dilaluinya. Telat karena ban sepeda motornya terkena ranjau paku atau kempes. Telat karena anaknya sakit. Karena banyak alasannya, maka saya katakan guru telatan itu punya satu bab!
Sama esensinya dengan tulisan saya sebelumnya tentang; Rasa Khawatirnya Telah Sirna, bahwa seseorang akan datang dan sampai di kantor akan telat-pun sebagian besarnya sangat dapat diprediksi. Karena begitu mudahnya diprediksi maka saya sendiri juga sudah tahu apakah saya akan telat datang di sekolah atau di kantor begitu saya melangkahkan kaki keluar dari pintu rumah saya.
Bagaimana dengan Anda?
Palembang, 27 Februari-Jakarta, 2 Maret 2010.
3 comments:
Imas Alawiyah Hasan: thank u for refreshing my mind..jazakumullah khair..
Nina Deswati: Terimakasih pak sharenya....Jumat lalu saya baru membahas hal ini pada meeting guru. Tuiisannya saya mau bagikan di 'morning buletin ' ya...hehe
Kualitas guru ditentukan oleh guru itu sendiri..seberapa besar ia menghargai profesinya bisa ditentukan dari seberapa sering ia telat.
Fitra Diana: thanks pak....betul banget....profesi guru mmpunyai ladang amal jariyah yg luaaass bgt,tinggal pilih amal jariyah teladan yg akn kita turunkan ke anak2 apa amal jariyah telatan???seorg guru pasti sdh punya pilihannya,paling tidak terus berusaha utk mnjdi org(guru)yg berguna bkn sempurna..:)trmasuk saya yg msh hrs byk belajar
Post a Comment