Inilah kisah saya yang lain tentang guru. Kisah ini sangat erat dengan apa yang pernah saya sampaikan dalam artikel sebelumnya yang berjudul Cita Rasa. Dalam Cita Rasa, saya menyampaikan bahwa kadang ada perbedaan standar (baca:cita rasa) antara kita dengan orang lain terhadap suatu hal yang sama. Halaman sekolah bagi kita bersih. Tetapi ketika pemilik sekolah atau pengawas sekolah datang, ia meminta para pramubakti untuk melakukan pembersihan. Peristiwa seperti ini sangat mungkin terjadi karena kita memiliki latar dan pengalaman yang berbeda dalam melihat sesuatu. Dan perbedaan ini jika masuk dalam ranah kualitas (bukan kuantitas), maka itulah yang saya maksud dengan cita rasa.
Sama halnya jika sesuatu yang saya maksud adalah tentang bagaimana mengawasi siswa. Dalam hal ini siswa di luar kelas intra kurikuler kita. Katakanlah saat ekskul. Karena inilah pengalaman yang akan saya sampaikan. Mengajar ekstra kurikuler Sepak Bola.
Ekskul ini menjadi pilihan saya karena dengan demikian saya dapat berolah raga (baca: lari) sambil mengajar dan menemani siswa bermain sepak bola. Meski sepekan sekali, cukuplah bagi saya untuk membuat mata berkunang-kunang saat membawa lari bola dan dikejar siswa kelas 5-6 SD yang menjadi tim lawan saat latih tanding.
Tapi bukan saat bermain bola yang saya ingin sampaikan. Namun justru saat ekskul tidak dapat dilaksanakan karena sore itu hujan begitu lebat. Hujan turun begitu klami selesai melakukan pemanasan di lapangan rumput yang ada di sisi bangunan kantin sekolah. Tak sempat saya dan teman membuat dan mempersiapkan program pengganti untuk menghabiskan waktu 45 menit berikutnya. Menonton vedio di AV Room? Sudah keduluan orang lain dengan serombongan siswa yang menjadi tanggung jawabnya.
Dalam kebingungan itu, saya meminta siswa untuk duduk menunggu hujan di pendopo TK yang terletak di arah sebelah timur kantin. Setelah diskusi dengan teman, saya berupaya mengambil alat bermain yang ada di store room bawah tangga sekolah. Sebelum alat yang kami inginkan ketemu, saya tergoda untuk melaksakan Shalat Ashar. Suatu niat baik. Tapi tidak dengan skala prioritas yang benar. Dan ketika saya kembali ke pendopo, waktu ekskul telah usai. Alat permainan gagal kami gunakan. Kami memulangkan siswa.
Esok harimya, kawan saya mengajak saya berdiskusi di salah satu ruang kelas. Dia menyampaikan protes kepada saya dengan apa yang saya perbuat kemarin sore. Dia protes mengapa begitu lama mengambil alat mainan. Dan ketika saya sampaikan bahwa kemarin saya melaksanakan Shalat lebih dulu, dia mengutarakan kekecewaannya dengan kelimat yang lebih kurang begini: Agus, kemarin saat kelas Sepak Bola adalah tanggung jawab kita bersama. Tetapi dengan alasan untuk mengambil alat bermain kamu tinggalkan saya sendirian mengawasi siswa ekskul Sepak Bola yang berjumlah 30. Kalau terjadi apa-apa dengan salah satu dari siswa itu karena saya hanya sendirian mengawasi mereka, maka kita berdua akan kehilangan pekerjaan sebagai guru...
Kalimatnya itu, telah memberikan pengajaran kepada saya tentang makna pengawasan terhadap siswa yang menjadi tanggungjawab kita. Sejak itu, saya memahami sekali bahwa menjadi guru, tidak hanya berhenti ketika kami menunaikan kewajiban mengajar sesuai jadwal pelajaran yang dibuat oleh Kepala Sekolah. Tetapi juga tuntas dalam memberikan pengawasan kepada siswa selama berada di sekolah. (Terima kasih Mick!).
Menurut saya, cita rasa mengawasi siswa agar selalu aman dan dalam lingkungan edukasi pada perkembangan pendidikan sekarang ini, harus menjadi bagian integral dan sistemik, dari ikhtiar seorang pendidik. Karena selain keamanan fisiknya, siswa juga akan lebih terawasi dan pada akhirnya terhindar, dari praktek hubungan senioritas yang sekarang ini lebih dikenal dengan istilah bullying. Semoga!
Jakarta (Slipi Palmerah), 1996/1997-15 Maret 2010.
No comments:
Post a Comment