Kalimat dari judul artikel ini, bukan suatu paradigma yang baru jika konteksnya hari ini. Namun ketika niat itu yang saya kemukakan pada saat interviu di sekitar bulan Maret tahun 1996, saya marasakan hal itu adalah suatu pendobrakan dari model, gaya dan budaya kerja yang mengakar sebagai seorang guru.
Sebuah pencerahan yang baru saya temukan bukan dari hingar bingar artikel di media, seminar atau obrolan. Itulah masa gersang yang saya alami sebagai bagian dari perjalanan menjalani profesi yang bernama guru.
Pencerahan dari pengalaman empiris yang sangat serta selalu menggelisahkan. Menjadi guru di sekolah swasta dengan siswa yang jumlahnya gemuk di setiap kelasnya. Membelajarkan siswa tidak lebih adalah memberikan penjelasan tentang materi pelajaran yang harus dikuasainya. Lalu memberikannya pekerjaan rumah kepada mereka. Dan di ujung penghabisan materi pelajaran, saya akan memberikannya kertas ulangan harian.
Kegiatan itu terus berulang hingga pada akhirnya kegelisahan menyeruak. Pikir saya: Kalau menjadi guru berkutat pada kegiatan berulang seperti ini, dan ini sudah menjadi sistem yang hidup di sebuah lembaga yang bernama sekolah, maka sulit bagi saya untuk mempu memberdayakan diri sebagai guru yang menjadi seorang manusia dengan bernilai lebih. Maka hijrah bagi diri saya menjadi pilihan yang baik.
Hijrah?
Ya. Saya memutasikan diri. Mencari sekolah yang memiliki sistem yang lebih baik bagi pengembangan siswa dan gurunya. Sekolah yang tidak hanya menjadikan kegiatan belajar hanya membuka dan membaca serta mengerjakan soal yang ada di buku teks. Belajar yang tidak sebatas menguasai meteri pelajaran. Sekolah yang memberikan tuntutan kepada gurunya untuk berbuat lebih banyak dan lebih luas lagi dalam menunaikan kewajibannya sebagai guru.
Dan ketika saya diminta untuk mengemukakan pertanyaan sebagai penutup dari acara wawancara, saya mengajukan dua pertanyaan yang menurut saya standar saja. Dan salah satu pertanyaan saya adalah: Apakah menjadi guru di sekolah ini nantinya hanya diminta untuk ceramah, memberi pekerjaan rumah kepada siswanya, membuat soal, memeriksa pekerjaan siswa, dan memberikan penilaian kepada hasil kerja siswa?
Pertanyaan ini tidak membuat pewawancara menertawakan saya pada waktu itu. Justru mereka memberikan jawaban yang semakin membuat saya bersemangat untuk bisa menjadi bagian dari guru di lembaga yang menjadikan kegiatan edukasi tidak sekedar mengejar ketuntasan kognisi.
Dan hingga hari ini, berjuang untuk menjadi guru yang tidak sekedar sebagai pengajar, masih menjadi perjuangan. Karena pada realitanya, masih ada sebagian dari masyarakat yang melihat bahwa hasil belajar adalah nilai angka yang ada di buku rapor siswa. Dan kalau di kelas akhir pada jenjang SD, SMP dan SMA, hasil itu dalam wujudnya yang bernama nilai Ujian Nasional Murni. Maka masih subur lahan bagi guru yang hanya merasa cukup sebagai pengajar.
Itulah lahan bagi saya, dan pastinya Anda, untuk mengajak semua guru yang ada di lembaga masing-masing untuk menjadi guru yang tidak hanya sebagai pengajar! Semoga.
Jakarta, 21 Maret 2010.
1 comment:
Wawan Saroyo: Agus List. Aku benar-benar bangga padamu. Anda rajin menulis untuk teman-teman termasuk untuk aku, meskipun aku tidak selalu membalas. namun aku membaca semua tulisanu. aku senang. kamu diberi anugerah untuk dapat merefleksikan segala pengalaman sebagai dasar aksi selanjutnya. Tlisanmu menarik bagiku.
Tentang buah kepel. Selasa liburan Nyepi aku ke Purworejo, mendapat membawa buah kepel. satu buah kubawa ke kelas. aku memerkenalkan buah aneh menurut anak-anak. ternyata buah itu benar-enar asing. yang menyenangkan adalah mereka mau mencicipi buah itu bersama-sama, mereka aberbagi meskipun hanya satu buah. aku menyesal, mengapa aku hanya bawaa satu buah?
tenang blok untuk teman-teman alumni bruderan aku menya,mbut baik jika ada alamat aku minta.
Gambar pohon kepel darimu memberi inspirasi. akan kutayangkan untuk anak-anak. terima kasih! salam buat keluargamu dan eman-teman.
Post a Comment