Etika berlalu lintas akan disiapkan dalam program pendidikan di sekolah. Demikian kalimat yang tertulis dalam berita di Koran Tempo, Selasa tanggal 9 Maret 2010. Program ini akan dimulai pada tahun pelajaran 2010/2011.
Jika yang dipelajari tentang rambu-rambu lalu lintas, maka sesungguhnya ini pernah dan ada dalam pelajaran yang saya sampaikan sewaktu saya mengajar di kelas 1 sekolah dasar pada tahun 1985-1990-an. Bahkan, hingga kini, siswa di tingkat Pra Sekolah atau taman kanak-kanak sudah mengenal rambu-rambu itu. Sebagian sekolah memiliki alat peraganya.
Pertanyannya; apakah hanya seperti itu yang dimaksudkan dengan belajar etika berlalu lintas sebagaimana isi nota kesepahaman antara Menteri Pendidikan Nasional, M Nuh dengan Kepala Polri Jenderal Bambang Hendarso Danuri? Saya belum tahu.
Namun berikut saya akan mengutarakan apa yang sesungguhnya sedang terjadi dengan etika itu. Kita semua menyadari bahwa para pengendara di jalan raya adalah anak bangsa yang sebelumnya mengenyam sedikit banyak pendidikan di Indonesia. Maka ketika mereka sedang mengerjakan soal ulangan: Jika lampu lalu lintas menyala merah maka kendaraan harus?
Soal ulangan tersebut memang tergolong soal ulangan ranah kognitif pada aspek ingatan. Dengan tingkat kesulitan soal yang tergolong rendah. Oleh karenanya soal itu akan dijawab dengan sangat baik oleh seluruh anak didik. Dan soal ini hanya mengukur pengetahuan peserta didik. Soal ini belum mengukur sejauhmana peserta didik dapat beretika di jalan raya.
Dan ketika si peserta didik tersebut sekarang ini menginjak dewasa dan telah mengendarai kendaraan, maka jika di perempatan jalan lampu lalu lintas menyala merah, sangat boleh jadi pengendara akan melakukan beberapa alternatif.
Alternatif satu; Ia akan berhenti. Karena ia tahu sebelum lampu itu menyala merah akan terlebih dahulu didahului lampu kuning yang menyala. Alternatif dua; Dengan alas an terburu-buru untuk lekas sampai tujuan, dan dilihatnya tidak ada petugas, maka begitu lampu kuning berganti dengan lampu merah, ia segera memcu kendaraannya.
Alternatif satu atau dua, adalah sebuah kenyataan yang ada di setiap rambu lalu lintas. Dan semakin ‘pelosok’ keberadaan lampu lalu lintas tersebut, makin banyak pula yang memilih alternatif kedua dari pada alternatif pertama. Juga jangan hanya dilihat dari jenis kendaraannya. Jenis kendaraan yang bagus dan super mahal sekalipun, masih sering kita temui yang memilih alternatif dua.
Dari sekelumit cerita itu, saya mengajak kita semua berpikir: bahwa beretika dalam berlalu lintas tersebut sangat berimplikasi kepada keselamatan kita di jalan. Jadi bukan hanya karena petugas dan tilang. Jangan sampai karena keyakinan kita yang kedua ini menginspirasi pihak berkompeten untuk membuat patung petugas disetiap perempatan jalan seperti yang sudah ada di wilayah Jawa Tengah.
Jakarta, 9 Maret 2010.
No comments:
Post a Comment