Memilih sekolah untuk si buah hati bagi orang tua tertentu, merupakan pekerjaan yang tidak mudah dan perlu ketelitian. Hal ini karena masih sedikitnya informasi yang diberikan media massa berkenaan dengan sekolah-sekolah atau langkanya panduan sekolah-sekolah di tingkat dasar dan menengah sebagaimana yang telah ada di tingkat perguruan tinggi. Hal ini menambah peliknya perburuan sebuah sekolah.
Kepelikan memilih sekolah ini komplek sifatnya. Karena harus mempertimbangkan beberapa aspek. Baik aspek internal, yaitu aspek yang datang dari kita sebagai orang tua dan anak itu sendiri, seperti kemampuan dan kecenderungan anak yang ingin kita sekolahkan, jarak sekolah dari rumah, jenjang pendidikan yang dipilih, hingga keuangan. Sedang aspek yang datangnya dari luar kita, aspek eksternal, terdiri dari bentuk sekolah, status sekolah, dan sistem persekolahan yang dianut.
Aspek yang datang dari kita sebagai orang tua, adalah aspek yang masing-masing kita dapat mengukur dan menganalisa sendiri. Karena aspek ini amat dekat dalam kehidupan kita sehari-hari. Kita tentu telah dapat mempertimbangkan apakah mungkin jika si kecil harus berangkat dari rumah pukul 6 pagi untuk menuju ke sekolah? Dan lain sebagainya.
Sedang aspek eksternal adalah adalah semua aspek yang ada diluar jangkauan kita. Yaitu tentang sekolah itu sendiri. Bagaimana bentuk dan model sekolah itu, pola pembelajaran serta interaksi guru-siswa atau siswa-siswa dan juga dengan orangtua, administrasi atau pembiayaan, dan lain-lain.
Maksud paparan ini adalah untuk memberikan gambaran tentang bagaimana memilih sekolah yang baik dan cocok bagi masa depan anak, terutama bagi kita yang tinggal di kota besar seperti Jakarta. Karena keberhasilan anak kita di masa depan adalah bagaimana bentuk dan model pembelajaran yang anak kita terima pada hari ini. Oleh karena itu maka deskripsi sekolah yang kita inginkan adalah sekolah yang memberi keterampilan pada siswa untuk berhasil mengarungi hidup pada zamannya nanti.
Benyamin Bloom membagi dalam tiga ranah tujuan pembelajaran. Yaitu ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Ketiganya saling barkaitan dan saling menguatkan. Dengan melihat apa yang dikemukakan Bloom dengan ketiga ranah pembelajarannya, maka sekolah yang mendisain pembelajaran seperti itulah yang dapat membekali siswanya untuk terampil menghadapi tantangan masa depan.
Pemenuhan hanya pada satu ranah dari ketiga ranah tersebut akan memunculkan generasi pincang. Yaitu generasi yang pandai pada penguasaan ilmu pengetahuan, jika sekolah hanya mengeksplorasi ranah kognitifnya, tetapi generasi yang rapuh dalam bersosialisasi pada sesama dan lingkungannya. Demikian pula pemenuhan pada salah satu aspek yang lainnya. Hal ini bersesuaian dengan fitrah manusia yang telah Tuhan gariskan.
Mayoritas sekolah di Indonesia terlalu asyik untuk mengejar nilai hasil ulangan yang tinggi, yang semuanya hanya bertumpu pada ranah hasil belajar kognitif. Dan bila dalam ranah kognitif tersebut terdiri dari enam aspek seperti mengingat, memahami, mengaplikai, menganalisa, mengevaluasi dan mencipta, maka tiga aspek yang pertama mendominasi proses belajar siswa kita. Ketiga aspek kognitif itu dalam kisi-kisi pembuatan soal tes atau ujian disimbulkan dengan C 1 untuk mengingat, C 2 untuk memahami dan C 3 untuk mengaplikasi. Dan hanya sebagian kecil saja sekolah-sekolah yang memiliki komitmet dalam mengembangkan tiga ranah berikutnya secara integral dalam pembelajaran dan penilaian.
Yaitu sekolah yang pelaksanaan kurikulumnya secara otonom sesuai dengan tuntutan visi dan misi sekolahnya yang tidak saja melihat ’hasil’ tes sebagai hasil belajar, namun juga proses pembelajaran, attitude, dan skill. Model sekolah ini mengemukakan bahwa hasil belajar adalah sekelompok pengetahuan yang dikuasai siswa, tingkah laku, dan keterampilan, sesuai dengan tingkat usianya. Dengan melihat kenyataan tersebut di atas, maka Sekolah dapat dikelompokkan dalam dua kelompok besar.
Model pertama; adalah sekolah yang mengelola kurikulum dalam pembelajaran untuk mengejar target kurikulum dan daya seraf siswa terhadap materi pelajaran yang diberikan, dan indikator keberhasilannya adalah nilai tes hasil belajar di akhir satuan pelajaran dan catur wulan. Indikator tes yang dimaksud adalah hasil belajar dalam aspek kognitif.
Sedang model kedua; adalah sekolah yang mengelola kurikulum dari kaca mata yang lebih holistik dalam
pembelajarannya. Menjadikan siswa sebagai pusat atau subjek yang dibelajarkan. Memandang pembelajaran sebagai rangkaian proses yang tidak sekedar tranfer ilmu pengetahuan dalam bentuk daya seraf pada materi pelajaran, tetapi proses yang akan menghasilkan performance anak didik yang berupa sekelompok kemampuan siswa yang terdiri dari aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Dengan melihat dua bentuk pelaksanaan kurikulum dalam pembelajaran sehari-hari di sekolah, dapatlah disimpulkan bahwa, keberbedaan tersebut berangkat dari cara pandang yang tidak sama dalam mengoperasionalkan kurikulum. Bentuk pertama memandang bahwa pembelajaran merupakan transfer ilmu pengetahuan semata. Sedang bentuk kedua memandang bahwa pembelajaran adalah proses pendewasaan individu yang akan menghasilkan performance dalam bentuk kognitif, afektif, dan psikomotorik.
Dengan berpedoman dengan apa yang telah penulis kemukakan di atas, maka sebagai orangtua kita memiliki kewajiban yang tinggi dalam melakukan ‘penelitian’ pada sekolah yang direkomendasikan beberapa teman. Penelitian itu dapat berupa kunjungan ke sekolah yang dimaksud, diskusi dengan para pendidik dan manajemen, selain jika memungkinkan melakukan observasi lapangan. Semua data dan fakta itulah sebagai dasar penentuan kita menjatuhkan pilihan.
(Sumber : Agus Listiyono, Harian Pelita, 17 Mei 2005).